Sabtu, 22 Juni 2013

Reengineering Pusat Kesenian

Oleh: George Soedarsono Esthu
Pusat Kesenian di Indonesia, sebagai penyaji seni pertunjukan, sudah saatnya dikelola secara profesional. Atinya perlu perubahan budaya organisasi dari product driven ke market driven - atau dari product in concept ke market in concept. Ini bukan berarti bahwa Pusat Kesenian di Indonesia harus tunduk pada kehendak pasar, melainkan harus jeli melihat kebutuhan dan keinginan serta harapan pasar. Untuk itu tentu saja diperlukan terobosan dan pembaharuan dari seluruh proses dan produknya. Caranya adalah dengan memberi infusi pengetahuan baru kepada semua stakeholders baik dalam proses penciptaan maupun proses kerja seni pertunjukan. Tidak saja terbatas pada kreatif artistik tapi juga kreatif-kreatif lain yang secara teknis maupun empiris menjadi bagian yang inheren dalam kerja seni pertunjukan.
Banyak sekali pendekatan yang bisa diciptakan untuk digunakan sebagai pola maupun sistem yang secara operasional bisa dijadikan kerangka acuan untuk mengelola seni pertunjukan, seperti bagaimana merumuskan cita-cita dan tujuan, mission and aims, menetapkan sasaran, menemukan kembali strategi, dan menjabarkannya dalam rencana tindakan.

Tak kalah penting adalah pemahaman yang sungguh-sungguh bahwa seni pertunjukan merupakan bentuk personifikasi dari seluruh cabang kesenian. Ini artinya, seni pertunjukan, dituntut secara adil mengabsorbsi bentuk-bentuk dan falsafah seni pertunjukan lainnya ke dalam penampilannya. Hal ini sangat sejalan dengan cita-cita manajemen moderen yang hendak menyejajarkan stakeholders. Dengan demikian sudah saatnya kita mulai memikirkan bagaimana mengelola seni pertunjukan dalam skala makro dan proses mikronya. Itu berarti diperlukan suatu kebijakan yang tidak saja memacu tercapainya sasaran secara optimal, melainkan juga suatu kebijakan yang mampu mengidentifikasi dan mengeliminasi dampak-dampak yang ditimbulkan dari pencapaian sasaran. Dengan demikian, maka langkah pertama untuk menemukan pola pendekatan pengelolaan penyajian seni pertunjukan secara moderen tak lain dan tak bukan adalah dengan cara melakukan perencanaan strategis. Perencanaan tersebut meliputi juga bagaimana mengidentifikasi jurang pemisah antara budaya lama organisasi dengan budaya baru yang dikehendaki.

Ini jelas merupakan tahap yang paling sulit. Bukan saja karena diperlukan keterlibatan semua stakeholders, melainkan juga diperlukan suatu riset yang mendalam guna mendapatkan data yang akurat sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melakukan improvement, breakthrogh, dan innovation. Itu semua diperlukan sebagai prasyarat penerapan manajemen moderen dalam pengelolaan penyajian seni pertunjukan. Studi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sumberdaya manusianya, baik dari sudut kuantitas, pendidikan, pengalaman, maupun produktivitasnya. Dengan demikian nisa disusun suatu saran tentang bentuk pengembangan sumberdaya manusianya, sistem manajemen yang diperlukan, dan prasarana pendukungnya. Akan lebih lengkap lagi apabila studi tersebut juga dilengkapi dengan studi psikososial orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penyajian seni pertunjukan. Ini penting untuk nantinya dijadikan sebagai dasar untuk merancang apa dan bagaimana treatment yang diperlukan.

Latar Belakang
Kira-kira seabad yang lalu, John Lubbock mengatakan bahwa “seni adalah satu-satunya elemen yang paling murni dan paling tinggi dalam kebahagiaan umat manusia. Ia melatih pikiran melalui mata dan melatih mata melalui pikiran. Seperti matahari memberi warna pada bunga, juga, seni memberi warna pada hidup”.Apa yang diamati Lubbock sangatlah tepat, seni adalah satu kesenangan yang besar dari hidup dan merupakan kebutuhan praktis. Tapi ternyata masih ada orang lain yang mengklaim lebih hebat lagi. Charles B. Fairbank, meyakini bahwa, seni adalah sesuatu yang paling memberi kepastian dan keselamatan pada peradaban. Bukalah galeri seni Anda untuk orang lain, dan Anda memberi kepada mereka keuntungan yang lebih besar daripada sekadar buku pendidikan; Anda memberi mereka kehalusan pada apa yang mereka inginkan yaitu menjadi orang baru lain. Fairbank meyakinkan bahwa membuka diri untuk seni akan mempunyai pengaruh jangka panjang pada kehidupan, kebudayaan, dan peradaban.

Apakah orang-orang mempunyai minat pada seni?
Pada tahun 1991, Alan R Andreasen, seorang profesor dari Universitas Connecticut, mengungkapkan bahwa, kira-kira 53% penduduk dewasa Amerika Serikat - yang mendekati 135 juta orang -mempunyai minat menghadiri seni pertunjukan yang baik.

Andreasen menyarankan bahwa target Manajer seni sebesar 44% dari penduduk AS yang merespon menunjukkan: “berminat”, “coba-coba”, “menilai positif”, atau “adopsi” untuk meningkatkan frekuensi kehadirannya. Ia menyarankan, hal itu bisa disempurnakan jika, penyaji, belajar lagi tentang kebutuhan dan nilai masyarakat saat ini - terutama lapisan masyarakat yang menjadi petunjuk minat dalam seni pertunjukan.

Siapa yang membayar untuk seni?
Libby, Theodore W. Libby Jr., menulis (Keynote article 1991, Musical America, Intenational Artist Directory): “Perusahaan opera Amerika, seperti orkestra Amerika, menerima dukungan dana yang kecil dari pemerintah. Dimana subsidi dari pemerintah pusat, negara bagian, dan penguasa lokal, kalau dijumlah, uang yang terdiri dari sebagian pajak masyarakat tersebut biasanya berjumlah hanya sekitar 5%-10% dari anggaran tahunan sebagian besar Perusahaan. Biasanya 50% dan 65% dari biaya operasi, dipenuhi dengan pendapatan penghasilan dari penjualan tiket, rekaman, konsesi, dan sebagainya. Bagaimanapun secara tetap, kerugiannya ditutup oleh kontribusi pribadi-pribadi”. Manajer seni tradisional dengan sangat cinta mengatakan bahwa American Orchestra dan lembaga bisnis kesenian dengan bijaksana membuang uang.

Model manajemen organisasi seni tradisional dibentuk secara besar-besaran berdasarkan model manajemen ilmiah dari Frederick Taylor yang memamerkan pentingnya hirarki, mekanisme, karakteristik fokus-produk. Banyak komisaris organisasi seni bersekutu dengan Perusahaan atau keluarga yang mempunyai keuntungan material dengan visi manajemennya. Eksekutif organisasi seni, dipilih oleh komisaris untuk memanajemeni program-program manajemen ini. Model manajemen seni tradisional mempetahankan imej, citra diri sendiri sebagai benteng terakhir dari pencerahan dan keunggulan artistik. Operasi organisasi terasing dari perubahan nilai masyarakat. Model ini memelihara visinya dari kekayaan warisan budaya seni.

Dan itu pula mengapa manajemen dan Dewan Pengurus terus-menerus menerima dengan cepat pertumbuhan erosi dari kehadiran masyarakat pengunjung, atau mendukung, dan mati-matian mencari peningkatan jangka pendek, dukungan dalam skala besar akibat dari menyusutnya warganegara yang kaya yang benar-benar mencintai seni.

Model baru
Jika presentasi seni sama dengan mempertimbangkan keindahan oleh banyak orang dalam masyarakat, “budaya perusahaan” organisasi seni harus pula sama indahnya, dan oleh karena itu diperlukan suatu manajemen baru. Disarankan, agar Manajemen Mutu Terpadi (TQM) dijadikan sebagai alternatif untuk manajemen seni tradisional baik dalam metoda, konsep, dan konsekuensi yang akan mengubah bentuk peranan manajemen organisasi seni agar supaya fasilitator - penyaji melayani untuk orientasi proses. Rencana baru ini, berdasarkan pada memperluas pengertian masyarakat, dan nilai-nilai, dan apresiasi sistem interaksi antara organisasi seni dan masyarakat yang mereka layani.

Rencana tersebut ditujukan pada keduanya: mutu organisasi seni dan mutu produksi artistik secara terpisah tetapi secara bersamaan. Ini adalah model manajemen berdasarkan pada statistik pasar dan penelitian pertunjukan yang mempermudah peningkatan secara terus-menerus dalam rancangan, produksi, dan kecakapan operasi.

Model ini menyandarkan diri pada sukarelawan yang secara maksimal mampu memanfaatkan profesional mutunya dalam peranannya secara menyeluruh dalam pengembangan organisasi. Ini menjamin reaksi sewaktu-waktu untuk mengubah persyaratan penonton dan menawarkan banyak peluang untuk mengendalikan biaya dan pemanfaatan sumberdaya secara efektif.

Model ini memungkinkan organisasi seni “nirlaba” menerima peningkatan keikutseraan, loyalitas, dan dukungan keuangan untuk melayani masyarakatnya.

Bagaimana seni dapat menggunakan model ini?
Produksi seni pertunjukan adalah merupakan serial dari proses yang berinteraksi dengan dan mempengaruhi satu sama lain, dan mengoperasikannya sebagai sistem. Setiap proses (proses apa saja), dapat diukur jika keinginan diajukan, jika panduan teori ada, jika alat pengukuran disediakan, dan jika ketekunan diterapkan. Sekali kemampuan memproses didefinisikan dan diukur, pasti bisa dimengerti, dikendalikan, dan ditingkatkan. Prinsip ini bisa diterapkan pada semua perusahaan, termasuk produksi lirik dan seni klasik.

Model manajemen baru ini memberi wewenang kepada artis individu dan manajemen organisasi budaya, dengan sistem yang terintegrasi agar supaya mengijinkan mereka mendasari pertunjukannya pada pengetahuan akan mutu seperti didefinisikan oleh penonton dan masyarakat. Sistem ini mempunyai satu tujuan dasar yaitu: untuk membangun loyalitas, keterikatan (komitmen), dan interaksi yang responsif antara masyarakat dan organisasi seni pertunjukan. Untuk menyempurnakan tujuan ini, organisasi kebudayaan harus:

- Menciptakan visi manajemen dan pernyataan cita-cita (mission) organisasi yang difokuskan pada sistematika peningkatan mutu layanan, karyawan yang terus-menerus belajar, kepuasan penonton, dan interaksi.
- Menciptakan dan menanggapi mekanisme evaluasi mutu yang mencatat apresiasi penonton dan memenuhi pengukuran yang spesifik keberhasilan pertunjukan dengan segera pada administrator, teknisi, dan artis yang bertanggung-jawab.
- Menciptakan peluang belajar untuk seluruh personil organisasi berdasarkan data statistik dari evaluasi mutu.

Penyaji seni yang berhasil harus:

- Terikat (komit) untuk melayani kebutuhan dari semua orang yang terlibat dalam proses presentasi seni.
- Semakin efektif dalam membuat kerja seni - beberapa yang baru dari mereka, yang tak lazim, atau yang luar biasa relevan dan dapat diterima masyarakat.
- Menjadi mentor bidang kreatif bagi artis.
- Karyawan semakin terampil mengintegrasikan alat-alat manajemen.

Model manajemen baru ini memang merupakan kontras yang kuat untuk metoda manajemen seni tradisional, karena langsung ditujukan pada sasaran organisasi seperti: keunggulan artistik; mentor inovasi artistik; membuat koneksi yang relevan antara produk artistik dan penonton; operasi dalam batas keuangan; dan meningkatkan keterlibatan, loyalitas, dan dukungan finansial dari layanan masyarakat.

Kunci untuk meningkatkan jumlah pengunjung dan dukungannya berada pada pengertian pertama nilai penunjang yang siap melayani. Kemudian manajemen seni dapat memulai mengembangkan program dan layanan yang akan menjangkau dan mengubah bentuk ke yang lebih besar, tak-aktif tapi menarik masyarakat penonton ke dalam pengunjung seni pertunjukan yang efektif.

Model ini menggunakan pengetahuan pasar - pencapaian presentase penonton dalam format statistik - mempermudah proses, produk, dan pengembangan layanan yang akan menarik penonton secara besar. Model ini menekankan interaksi antara organisasi seni, program lain yang serupa, dan juga masyarakat umum untuk mencapai sasaran bersama. Model ini juga akan mengidentifikasi berbagai peluang pengendalian biaya, dan kapan anggota penonton yang ada memperhalus dan mempertajam persepsinya pada mutu pertunjukan, dan melihat peningkatan sebagai hasil dari kontribusi mereka, mereka akan menghargai rasa responsif organisasi dengan cara meningkatkan dukungan dan loyalitas.

W. Edwards Deming berkata, “Kita tidak akan cukup mempunyai pelanggan yang hanya puas belaka. Kepuasan pelanggan berubah, berupa tanggapan yang tidak baik, atau hanya mencoba sesuatu yang lain. Keberhasilan dan pertumbuhan datang dari pelanggan, yaitu mereka yang membanggakan produk dan layanan Anda. Pelanggan yang loyal tidak membutuhkan iklan atau pendekatan lain, dan ia akan membawa teman bersamanya”.

Keputusan dukungan untuk seni
Kekritisan faktor yang menentukan keberhasilan organisasi pertunjukan adalah: kecepatan, efisiensi, dan efektivitas dari sistem dukungan keputusan (semua sistem yang mempertinggi akurasi (keakuratan), dan konsekuensi keputusan itu sendiri).

Model ini memperkuat karyawan dalam bidang statistik, psikologik, dan teori riset pasar dan menggunakan bantuan komputer yang sangat moderen dengan teknologi penanganan data.

Menggunakan rencana TQM berarti mempunyai sistem dukungan keputusan penyaji agar supaya menguntungkan Manajer organisasi seni, artis, dan penonton, dengan memberi mereka cara yang inovatif untuk berbagi nilai, visi, dan pertumbuhan.

Rencana ini akan membantu Manajer seni menciptakan presentasi yang cocok dan secara berangsur-angsur mengembangkan, memperluas keintelektualan, dan apresiasi artistik dari penonton mereka.

Ini juga mendorong dan memandu artis kreatif, seperti mereka memperlihatkan visi mereka pada masyarakat. Akhirnya rencana TQM mengidentifikasi banyak peluang untuk mengendalikan biaya.

Keuntungan bagi banyak orang
- Pelindung dan agen pembiayaan akan mendapat keuntungan dengan memfokuskan evaluasi mereka pada proposal (aplikasi) dengan kriteria yang didasarkan pada pengetahuan dan masyarakat penonton yang baik.
- Keuntungan bagi komisaris yaitu dengan menjadi pembantu untuk mengumpulkan uang - hanya untuk kegiatan yang mempunyai nilai bagi penonton dan masyarakat.
- Manajemen seni profesional akan mendengar banyak pujian dari kepemimpinan dan tanggapan masyarakat.
- Artis pertunjukan, teknisi, dan desainer bisa melakukan eksperimen dan menemukan keberhasilan artistik berdasarkan pada pengetahuan dari apa yang terbaik dikerjakan.
- Sukarelawan masyarakat akan memiliki peran vital yang baru untuk bermain: Mereka akan menunjukkan evaluasi mutu pertunjukan dari kegiatan organisasi.
- Penonton akan mengevaluasi kembali keterikatan mereka pada organisasi dengan berperan serta dalam proses evaluasi mutu dari organisasi seni, dengan begitu terikat untuk meningkatkan mutu dan layanan masyarakat.

Jika manajemen seni pertunjukan adalah membangun hubungan fungsional yang maksimal dengan klien internal maupun eksternal, haruslah mempunyai infusi pengetahuan baru. Dasar-dasar transformasinya siap ada dan dapat diperoleh dari berbagai masyarakat yang didapat dari, sukarelawan, konsultan statistik dan mutu yang profesional, atau profesional investasi.

Mereka akan terus merambah jalan dalam mewujudkan posisi yang semakin luas dalam ekonomi, dan mereka bisa menemukan kejadian penting pertunjukan seni yang bagus sekali untuk keuntungan masyarakat mereka dengan berbagi keterampilan mereka. Mereka dapat dan akan membantu.

Recana tindakan
Tiga belas tugas akan mempermudah pengubahan budaya manajemen fungsional dalam organisasi seni. Ketigabelas tugas tersebut ditujukan secara bersama-sama, tetapi secara terpisah meningkatkan manajemen organisasi seni sebaik pertunjukan artistik. Sesudah mulai pertunjukan, pekerjaan khusus yang perlu dilakukan ialah: tugas 6 sampai 9 dapat diulangi untuk secara kontinyu meningkatkan subsequent pertunjukan.

Tugas 1. Dewan Pengurus organisasi seni dari komisaris dan Pimpinan Eksekutif profesional bertemu dengan ahli mutu untuk menjelaskan teori TQM dan langkah-langkah untuk transformasi ke dalam budaya sistem peningakatan.

Tugas 2. Ahli mutu membantu Dewan Pengurus dan eksekutif mengembangkan pernyataan misi yang meliputi visi untuk budaya fungsional TQM.

Tugas 3. Dewan Pengurus, eksekutif, dan semua anggota organisasi bertemu untuk berbagi pernyataan misi dan identifikasi mengusulkan alat dan keterampilan teknis yang akan makin banyak manfaat pada setiap anggota organisasi.

Tugas 4. Semua anggota organisasi mengikuti pelatihan alat dan keterampilan, dipimpin oleh ahli mutu, dalam konsep umum pengendalian proses secara statistik dan pengembangan penerapan yang spesifik.

Tugas 5. Menciptakan komite yang bertugas melakukan studi mutu terhadap penonton dan masyarakat. Itu akan terdiri dari presentase artistik yang memadai dari pemegang tiket langganan, peserta organisasi seni, dan masyarakat bukan pengunjung yang cukup pandai di bidang masing-masing dalam kegiatan pelayanan organisasi seni untuk memberikan informasi evaluasi.
Pengumpulan dan evaluasi data termasuk:
-Evaluasi memilih program, meningkatkan iklan musim, usaha pemasaran, penjualan tiket, komunikasi pelanggan, dan masalah pengunjung seperti kendaraan umum, model trafik pejalan kaki, efisiensi dan biaya parkir, kemacetan lobi, efisiensi box office, dan konsesi.
-Mengevaluasi teknis khusus dan masalah mutu pertunjukan, seperti, make-up, kostum, properti, dekor, pencahayaan, pengarahan panggung, penyutradaraan, balet, penataan tari orkestra, penampilan solo, pendidikan untuk perawatan dan intensitas pertunjukan untuk pencapaian kerja secara baru.

Tugas 6. Karyawan, artis, dan sukarelawan mengembangkan kriteria mutu yang spesifik untuk komite studi mutu. Mereka juga mengembangkan sistem dan prosedur pengumpulan data di bawah bimbingan ahli mutu.

Tugas 7. Komite studi mutu mencatat data spesifik selama tiap pertunjukan, atau selama musim pertunjukan. Data tersebut diberikan kepada individu profesional atau organisasi sukarelawan yang bertanggung jawab sebagai pengamat khusus dan mengevaluasi bagian pertunjukan atau layanan.

Tugas 8. Personil organisasi (profesional atau sukarelawan) membuat peta data untuk studi dan, bekerjasama dengan kelompok, merencanakan dan mendesain eksperimen peningkatan spesifik produksi atau layanan yang ada dalam pengendaliannya. Proses studi masyarakat penonton bisa diulang setelah pertunjukan. Karyawan dan sukarelawan secara kontinyu mengukur konsekuensi dari rencana peningkatan.

Tugas 9. Manajemen senior bersama dengan administrator, teknisi, dan artis, berpartisipasi untuk mengintepretasikan studi data dan hasilnya dari eksperimen desain untuk setiap pengamatan pertunjukan atau segi layanan dan membandingkan konsekuensi dan hasil dengan rencana yang diharapkan.

Tugas 10. Artis pertunjukan dan teknisi kembali ke tugas 6 setelah setiap sequen pertunjukan dengan rencana eksperimen peningkatan yang spesifik, dan mengulangi tugas 6 sampai 9 dalam siklus Deming/Shewhart untuk meningkatkan mutu secara terus-menerus. Anggota lain organisasi secara terus-menerus memetakan studi kemampuan sistem peningkatan lewat periode waktu yang cocok.

Tugas 11. Manajemen senior dan Dewan Pengurus komisaris mengamati hasil dan konsekuensi peningkatan dan modifikasi anggaran. Kemudian mereka menjalankan usaha penerapan pada bidang yang lebih memerlukan peningkatan.

Tugas 12. Manajemen senior meminta dan menerima rencana inisiatif penurunan biaya oleh administrator, teknisi, dan artis yang mungkin memenuhi produksi dan keuntungan biaya tanpa kehilangan daftar penerimaan dari klien dan memuaskan penonton. Mereka juga menerima daftar proposal yang akan meningkatkan apresiasi penonton tanpa menaikkan biaya produksi.

Tugas 13. Komite studi mutu anggota penonton dan lainnya memberi informasi inisiatif peningkatan mutu dan pengetahuan tentang sistem sebagai hasil dari kontribusinya.


Restrukturisasi Organisasi Seni Pertunjukan
Masa kejayaan kehidupan seni pertunjukan telah berlalu. Sekarang tinggal serpih-serpih persoalan yang itu-itu juga yang kita hadapi. Ketiadaan dana, prasarana yang tak memadai, pemasungan kreativitas, apresiasi masyarakat yang rendah, tidak ada regenerasi, kualitas sumberdaya manusia yang menurun, dan lain sebagainya.

Kalau kita menoleh kebelakang, dimana Dewan Kesenian Jakarta pernah menikmati masa kejayaannya, maka apabila kita amati secara lebih seksama, kejayaan tersebut lahir tak lain karena para pioneer. Sang Gubernur kala itu adalah pioneer yang pertama mendirikan pusat kesenian. Rendra, Arifin, Teguh Karya, Sardono, Sutarji, dan lain-lain adalah pioneer di bidangnya. Tetapi akhirnya mereka toh lelah juga. Lalu mereka mencoba media ekspresi yang lain seperti film misalnya. Di dunia taripun, Sardono agaknya cepat kehilangan semangat eksperimentasinya. Padahal ia sebenarnya telah menemukan pendekatan yang kalau boleh saya sebut cocok dengan semangat pengabdian, dengan membedol para penari dari desa Teges Kanginan kala itu, misalnya.

Jadi dengan demikian, yang kita hadapi selepas dekade pioneer adalah dekade problem solver. Dan pada kenyataannya, masalah-masalah yang muncul tidak dapat diatasi. Para pengurus pelaksana baik dalam yayasan maupun dalam Dewan Kesenian tidak memiliki kecakapan manajerial sebagai problem solver, bahkan masih berlarut sampai saat ini. Oleh sebab itu sudah saatnyalah lembaga yang menaungi organisasi-organisasi seni pertunjukan melakukan restrukturisasi. Dan untuk menjalankan proses restrukturisasi tesebut, maka diperlukan pemimpin yang mempunyai kapabilitas sebagai “The Inspirator”. Dengan tugas dan tanggung jawab memimpin Tim Perencana dan Pengembangan Organisasi yang akan mengemban tugas mengembangkan visi dan menemukan kembali strategi.

Implikasi Restrukturisasi Organisasi
Jika kita memang benar ingin membangun kembali organisasi seni pertunjukan maka kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Kita berada di mana? Caranya adalah dengan menaksir budaya organisasi, struktur organisasi, dan staffing organisasi. Dan manajemen pelaksana perlu membandingkan sistem manajeman dengan strategi organisasi.
2. Di mana kita ingin melakukannya? Ini sangat penting bagi organisasi untuk mengetahui di mana sekarang ia berada, tetapi, tahu mau kemana, adalah juga hal yang sangat esensial. Jurang pemisah antara ada di mana dan mau kemana adalah daerah yang meminta perhatian.
3. Bagaiman bisa menutup jurang pemisah? Elemen apa dalam sistem manajemen yang ingin diubah? Strategi? Struktur? Proses? Manusia?
4. Berapa cepat bisa mengidentifikasi jurang pemisah untuk ditutup? Apa organisasi dapat menerima perubahan?
5. Di mana dan bagaimana kita bisa bertindak? Manajemen harus memberi tekanan secara praktis dan konsisten dengan sasaran strategi, dan komitmen manajer pelaksana harus mengubah keduanya, secara nyata dan terus-menerus.
6. Apakah kita bisa maju? Kemampuan harus diukur melawan kecenderungan ke dalam, untuk mengetahui bagaimana dan mengapa keberhasilan terjadi. Kemenangan dan kekalahan unit usaha dalam organisasi bisa dibandingkan.


Membentuk Kembali Prinsip-prinsip Budaya
- Langkah 1. Menjelaskan Missi/Strategi
- Langkah 2. Menganalisa faktor kunci keberhasilan
- Langkah 3. Menyeleksi kebutuhan budaya: organisasi kunci/ atribut manajerial
- Langkah 4. Menaksir budaya sekarang
- Langkah 5. Identifikasi jurang pemisah dengan kebutuhan budaya
- Langkah 6. Menyetel pengungkit
- Langkah 7. Memantau pensejajaran


Mengembangkan VISI
Maksud didirikannya Gedung Kesenian Jakarta
Mewujudkan kehidupan lingkungan kesenian yang kreatif dan inovatif.

Tujuan didirikannya Pusat Kesenian
Terselenggaranya pertunjukan-pertunjukan kesenian yang kreatif dan inovatif.


Sasaran Pusat Kesenian
1. Meningkatkan apresiasi masyarakat pada teknologi kesenian
2. Meningkatkan mutu pertunjukan.
· pensejajaran stakeholders
· sumberdaya manusia yang terunggul
· pertumbuhan


Strategi : · Menghimpun sumber daya
· Menghilangkan penahan dan kebocoran
· Mengubah budaya
· Peningkatan pendayagunaan keuangan


Taktik : · Merancang Sistem Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan
· Menyelenggarkan Manajemen Mutu Terpadu Seni Pertunjukan
· Mengadakan Analisa Tentang Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Kelompok-kelompok Kesenian
· Mengadakan Penelitian Tentang Profil Pengunjung Penampilan Seni Pertunjukan
· Meningkatkan Frekuensi Penampilan Seni Pertunjukan.


Kesimpulan
Pusat Kesenian di Indonesia kini, bagaimanapun adalah aset kita bersama. Waktu akan tetap berjalan, tetapi sejarah bisa kita ciptakan. Kini dengan TIM yang secara pelahan berubah menuju ke moderenitas secara fisik belaka, maka terbuka lebar-lebar suatu peluang bagi Pusat Kesenian di Indonesia untuk mengisinya sekaligus dengan banyak pilihan pertunjukan kesenian. Bisa saja misalnya Pusat Kesenian di Indonesia menjalin kerjasama dengan berbagai cafe yang merebak di kota-kota besar dengan memboyong pemusik-pemusik yang terseleksi untuk manggung di Pusat Kesenian di Indonesia Sehingga para pengunjung cafe yang tadinya tak mengenal Pusat Kesenian di Indonesia, akan mencoba hadir ke sana dan barangkali akan menciptakan impresi tersendiri sehingga mereka akan dengan loyal menonton setiap pertunjukan PUSAT KESENIAN DI INDONESIA. Sebaliknya, PUSAT KESENIAN DI INDONESIA bisa juga menukarnya dengan pemusik yang pernah atau sering berpentas di PUSAT KESENIAN DI INDONESIA, seperti para pianis, kuartet gesek, musik kamar, dan sebagainya. Ini untuk memberikan informasi kepada pengunjung cafe bahwa ada penyaji seni pertunjukan yang berkualitas yang ia bisa ia nikmati secara lain di PUSAT KESENIAN DI INDONESIA.

Ini barulah satu cara pendekatan untuk memperkenalkan PUSAT KESENIAN DI INDONESIA kepada kalangan menengah yang sering nongkrong di cafe. Kelak dengan mereka mengenal PUSAT KESENIAN DI INDONESIA, tak terhindar kemungkinan mereka akan membawa teman-teman atau koleganya, atau partner bisnisnya menikmati seni pertunjukan di PUSAT KESENIAN DI INDONESIA. Dan tentunya masih banyak lagi taktik-taktik yang bisa kita ciptakan untuk membuat PUSAT KESENIAN DI INDONESIA regeng, penuh gairah yang vitalitasnya akan memacu kreativitas dan kualitas penyajian seni pertunjukan.

Akan tetapi, cita-cita itu semua harus didukung dengan komitmen untuk berubah menjadi profesional dalam berbagai bidang terutama dalam manajemen. PUSAT KESENIAN DI INDONESIA perlu seorang CEO yang kaya inspirasi, tetapi secara teknis ia menguasai dan terampil mengaplikasikan manajemen moderen seperti Total Quality Management in the Performing Art.***(tulisan ini diambil dari kompasiana.com dan dipublikasikan di sini hanya untuk kepentingan pengembangan wawasan kesenian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar