Jumat, 06 Desember 2013

PENGANTAR DASAR-DASAR AKTING


Oleh: Rahadih Gedoan, SS


Barangkali kita pernah mendengar atau juga sangat akrab dengan penggalan syair yang diciptakan oleh Ian Antono, seorang personil God Bless, yang berbunyi Dunia ini panggung sandiwara…! Apakah benar dunia ini sebuah panggung sandiwara yang maha luas, yang kemudian tidak mengenal batas ruang dan waktu? Jika benar, apakah dengan demikian kita setiap hari bersandiwara sembari memainkan peran masing-masing sebagai mahasiswa, penumpang pesawat terbang, pemabuk, atau pemeranan peran lainnya dengan emosi yang bervariasi semisal marah, sedih, atau bahagia di latar-latar atau tempat seperti kampus, rumah, diskotik, jalan raya, dan lain sebagainya?

Pengertian Teater
Sandiwara, dalam penamaannya, memiliki penyebutan lain seperti main drama, teater, dan tonil. Semua penyebutan tersebut hanya merujuk kepada satu esensi makna yakni seni peran. Teater berasal dari kata Yunani, ‘theatron’ yang memiliki arti secara harafiah yaitu sebagai tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, pengertian tersebut menjadi lebih luas yakni sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Mungkin selama ini terdapat sedikit kekeliruan yang menyelaraskan makna ‘teater’ dengan ‘drama’. Kata ‘drama’ dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata ‘teater’ dan ‘drama’ sebetulnya bersandingan sedemikian erat dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah ‘teater’ berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan ‘drama’ berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika ‘drama’ adalah lakon dan ‘teater’ adalah pertunjukan maka ‘drama’ hanya merupakan salah satu unsur dari ‘teater’.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa ‘sandi’ berarti ‘rahasia’, dan ‘wara’ atau ‘warah’ yang berarti, ‘pengajaran’. Menurut Ki Hajar Dewantara ‘sandiwara’ berarti ‘pengajaran yang dilakukan dengan perlambang’ (Harymawan, 1993).
Semua aktivitas dalam seni pertunjukan (to act) di atas panggung disebut akting (acting). Istilah acting dalam bahasa Inggris berakar dari kata Yunani ‘dran’ yang berarti: ‘berbuat’, ‘berlaku’, atau ‘beraksi’. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).

Seni Peran dan Seluk Beluk Keaktoran
Seni peran tanpa para pemain peran (aktor-aktris) bagaikan padang pasir yang gersang tanpa ditumbuhi tumbuhan apapun. Ada orang yang dilahirkan dengan bakat yang luar biasa untuk bisa menjadi aktor/aktris dan ada juga yang tidak. Namun, bakat saja tidak cukup karena menjadi aktor/aktris memerlukan kedisiplinan untuk mengasah kemampuan yang dimiliki. Ada orang yang tidak memiliki kemampuan dalam seni peran tetapi karena rajin dan disiplin maka mampu menjadi aktor/aktris yang potensial.
Kemampuan menjadi seorang aktor/aktris dalam memainkan peran di sebuah pertunjukan panggung atau juga dalam sebuah penggarapan film/sinetron perlu disiapkan sebelumnya. Ada tiga hal yang paling mendasar dalam mempersiapkan seseorang untuk menjadi orang yang berkemampuan sebagai aktor/aktris, yaitu Olah Tubuh, Olah Jiwa, dan Olah Suara.

a.    Olah Tubuh
Untuk menjadi seorang aktor/aktris wajib melatih tubuhnya sebagai modal paling mendasar. Berikut ini beberapa langkah melatih tubuh:

Relaksasi. Relaksasi adalah hal pertama yang haru dilakukan dengan cara menerima keberadaan dirinya. Relaksasi bukan berarti berada dalam keadaan pasif (santai) tetapi keadaan dimana semua kekangan yang ada di tubuh terlepas. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh aktor adalah kebutuhan untuk relaksasi. Baik itu di dalam kelas, dalam latihan, di atas panggung, maupun paska produksi. Relaksasi adalah hal yang sangat penting bagi semua performer. Relaksasi bukanlah keadaan menta dan fisik yang tidak aktif, melainkan keadaan yang cukup aktif dan positif. Ini memungkinkan seorang aktor untuk mengekspresikan dirinya saat masih di dalam kontrol faktor-faktor lain yang bekerja melawan cara pemeranan karakter yang baik. Jadi, relaksasi adalah hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan utama dari seorang performer. Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian ataupun yang mencampuri konsentrasi seorang aktor atas sebuah karakter, cenderung dapat merusak relaksasi. Aktor pemula biasanya tidak dapat dengan mudah merespon sebuah perintah untuk rileks, hal ini disebabkan berkaitan dengan aspek-aspek fisik kepekaan dan emosi akting ketika berada di hadapan penonton. Dengan kata lain, dalam keadaan rileks, aktor akan menunggu dengan tenang dan sadar dalam mengambil tempat dan melakukan akting. Untuk mencapai relaksasi atau mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik diatas panggung, konsentrasi adalah tujuan utama. Ada korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang aktor harus dapat mengontrol tubuhnya setiap saat dengan pengertian atas tubuh dan alasan bagi perilakunya. Langkah awal untuk menjadi seorang aktor yang cakap adalah sadar dan mampu menggunakan tubuhnya dengan efisien.

Ekspresi. Kemampuan Ekspresi merupakan pelajaran pertama untuk seorang aktor, dimana ia berusaha untuk mengenal dirinya sendiri. Si aktor akan berusaha meraih ke dalam dirinya dan menciptakan perasaan-perasaan yang dimilikinya, agar mencapai kepekaan respon terhadap segala sesuatu. Kemampuan Ekspresi menuntut teknik-teknik penguasaan tubuh seperti relaksasi, konsentrasi, kepekaan, kreativitas dan kepunahan diri (pikiran-perasaan-tubuh yang seimbang) seorang aktor harus terpusat pada pikirannya. Kita menggunakan cara-cara nonlinguistik ini untuk mengekspresikan ide-ide sebagai pendukung berbicara. Tangisan, infleksi nada, gesture, adalah cara-cara

b.    Olah Jiwa
Metode Olah Jiwa yang disusun Dartum Ipung Kusmawi, S.Pd dan A. Rois Affandi (2007) memperkenalkan proses pertama transformasi atau penjiwaan terhadap peran adalah memberi fokus kepada energi yang sudah dimiliki oleh si aktor. Aktor harus mengendalikan dirinya menuju satu tujuan tertentu. Usaha memfokuskan energi itu adalah usaha menyerahkan diri sepenuhnya kepada aksi dramatis sesuai tuntutan naskah, di mana ia mampu menentukan pilihan-pilihan aksi selaras dengan keyakinannya terhadap tokohnya. Secara harfiah konsentrasi berarti memfokuskan kepada sesuatu , sehingga dalam konsentrasi, kepekaan si aktor dapat mengalir bebas menuju satu titik atau bentuk tertentu.
Seorang aktor harus punya pusat perhatian (konsentrasi) dan bahwa pusat ini seyogyanya tidak berada di tengah tempat latihan. Makin menarik pusat perhatian, makin sanggup ia memusatkan perhatian. Jelas sekali sebelum anda sanggup menetapkan titik perhatian yang sedang dan yang jauh, terlebih dahulu anda harus belajar bagaimana caranya memandang dan melihat benda-benda di area set. Aktor yang berada di area set, menghayati suatu kehidupa yang sejati atau imajiner. Kehidupan abstrak ini perhatian dalam diri kita. Tapi ia tidak mudah untuk dimanfaatkan, karena ia sangat rapuh. Seorang aktor harus juga seorang pengamat, bukan saja dalam memainkan peran di atas pentas atau sebuah film, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dengan keseluruhan dirinya ia harus memusatkan pikirannya pada segala yang menarik perhatiannya. Ia harus memandang sebuah objek, bukan lain, tapi betul-betul dengan mata yang tajam. Jika tidak, maka seluruh metode kreatifnya akan ternyata mengembang dan tidak punya hubungan dengan kehidupan. Umumnya orang tidak tahu bagaimana caranya mengamati tarikna wajah, sorotan mata seseorang dan nada suara untuk dapat memahami pikiran lawan bicara mereka. Mereka tidak bisa secara aktif memahami kebenaran kehidupan secara kompleks dan juga tidak sanggup mendengar kan sedemikian rupa, hingga mereka dapat memahami apa yang mereka dengar. Jika mereka dapat melakukan ini, kehidupan ini akan jauh lebih baik, lebih mudah dan kerja kreatif mereka akan lebih kaya, lebih halus dan lebih dalam. Tapi kita tidak bisa memaksakan pada seseorang sesuatu yang tidak dimilikinya, hanya daya yang dimilikinya saja yang bisa ia kembangkan.

Latihan Olah Sukma I
Pikiran kadang disebut juga sukma. Bagi seorang aktor. Sukma harus diolah secara serius selain tubuh dan suaranya. Apabila olah tubuh  dan olah suara merupakan latihan-latihan teknik keteramopilan berbentuk fisik dan bersifat jasmaniah maka olah sukma merupakan latihan kejiwaan. Olah sukma merupakan pokok atu pendorong utama lahirnya gerak atau suara dalam suatu proses pemeranan. Olah sukma sering juga disebut olah rasa atau olah jiwa.
Agar sukma dapat berguna bagi kepentingan pementasan maka seorang aktor selayaknya melakukan latihan olah sukma secara disiplin dan serius. Latihan olah sukma tersebut bisa berupa:
Konsentrasi. Konsentrasi merupakan upaya memusatkan pikiran dan daya kesanggupan untuk mengarahkan / memfokuskan semua kekuatan rohani dan pikiran kearah satu sasaran yang jelas secara terus menerus. Konsentrasi merupakan hal yang cukup sulit dilakukan jika tidak diawali dengan latihan yang serius. Apabila anda sering melatih diri untuk konsentrasi maka anda akan mempunyai kebiasaan yang teguh dalam menghadapi suatu kejadian. Bagi seorang aktor, konsentrasi berguna dalam menyelami watak dan kepribadian tokoh yang sedang diperankannya. Dalam latihan konsentrasi, anda bisa mencobanya dengan teknik sederhana sebagai berikut:
-   Bacalah sebuah buku atau majalah
-   Ketika proses membaca, putarlah musik dari player
-   Daya konsentrasi akan diuji dengan suara musik tersebut
- Apabila suara musik lebih dominan memenuhi pikiran dibandingkan dengan tulisan dibuku yang sedang dibaca maka daya konsentrasi anda belum bekerja sepenuhnya.

Imajinasi. Imajinasi merupakan daya khayal, gambaran sesuatu atau kemampuan membayangkan sesuatu dalam pikiran. Proses kreatif seorang seniman biasanya diawali dari sebuah imajinasi. Dengan imajinasinya, ia akan menciptakan kreasi seni. Dengan imajinasi pula ia bisa leluasa mengembara dalam dunia khayal yang sulit diraih dikehidupan nyata. Kemampuan imajinasi seseorang akan cepat berkembang jika sering digunakan dan dilatih. Bagi seorang aktor, imajinasi penting untuk memahami sosok seorang tokoh yang akan diperankannya. Sudah menjadi kewajiban bahwa sebelum seorang aktor berakting diatas pentas, ia harus mempelajari dulu tokoh tersebut. Ia harus mengajukan banyak pertanyan tentang usia tokoh, tentang laku fisik, dan laku bathin si tokoh. Pertanyaan – pertanyaan tersebut diantaranya dijawab melalui proses imajinasi. Apalagi jika anda memerankan tokoh fiktif maka anda bisa bebas menciptakan gerak laku dan pikiran tokoh tersebut.

Observasi. Apabila imajinasi merupakan upaya pengenalan tokoh secara tidak langsung, yaitu melalui proses khayal, sedangkan observasi adalah memahami tokoh secara langsung. Observasi ini merupakan daya pengamatan yang digunakan untuk memperhatikan dan mengamati sesuatu yang ada dalam kehidupan sekitar. Seorang aktor harus memiliki daya pengamatan yang tajam. Dengan pengamatan yang tajam dan lengkap itu, ia dapat menyeleksi bagian yang tepat untuk ditampilkan sesuai dengan nilai artistik yang diinginkan.
Apabila seorang aktor akan memerankan watak dan tokoh tertentu maka ia dapat melakukan observasi yang difokuskan pada tokoh yang mirip atau sama. Apabila memungkinkan, lakukan observasi dengan waktu yang cukup sehingga gerak-gerik tokoh tersebut dapat lebih mendetail untuk diamati. Dan hasil observasi tersebut, kemudian dihidupkan melalui ingatan emosi dan daya imajinasi sehingga dapat ditampilkan secara total. Sebagai latihan, biasakan untuk mengamati orang-orang disekitar lingkungan anda berdasarkan kriteria berikut:

Profesi:
Guru, dokter, tentara, mahasiswa, nelayan dan sebaginya
Umur   :
Muda , remaja, dewasa, dan tua
Watak :
sombong, penyayang, ramah, pendiam dan sebagainya

Emosi dan Perasaan. Emosi erat kaitannya dengan perasaan. Kepekaan emosi ini pun berbeda-beda bagi setiap orang. Perasaan mendorong lahirnya emosi, sedangkan emosi mencerminkan perasan seseorang. Bagi seorang aktor, kepekaan emosi ini sangat penting karena sebagai pemain ia di tuntut untuk dapat membangkitkan emosinya setiap saat dan dapat mengendalikannya sesuai dengan yang diinginkan dan sesuai pula dengan yang diperlukan saat itu oleh peran yang dimainkan. Untuk mampu membangkitkan dan mengendalikan emosi tersebut, diperlukan disiplin yang dapat dilatih. Kebiasan latihan emosi akan dapat mengatur ketepatan emosi yang diperlukan. Adegan yang bagaimana yang memerlukan banyak dan sedikitnya emosi, semuanya dapat dilatih. Latihan mengendalikan emosi merupakan latihan mengatur emosi yang diperlukan dalam suatu permainan.

Pikiran. Pikiran merupakan alat bathin untuk berpikir dan mengingat. Pikiran dapat pula berarti angan-angan, gagasan, dan pertimbangan-pertimbangan. Pikiran erat kaitannya dengan intelegensi. Bagi seorang aktor, pikiran merupakan alat bathin untuk menyampaikan keinginan, gagasan, atau pendapat. Pikiran juga merupakan kemampuan menangkap, menafsirkan dan menganalisis.
Latihan pikiran dapat berupa melatih diri mengemukakan pendapat, mendengarkan pikiran orang lain, memberikan kritik tentang apa yang disaksikan, atau memberi komentar tentang apa yang ia hadapi.

Latihan Olah Sukma 2
Seorang aktor harus mampu menghayati setiap situasi yang diperankan. Apabila aktor harus memerankan adegan menangis, maka ia harus betul-betul terlihat menangis, begitu juga saat memerankan adegan tertawa, terkejut, marah dan sebagainya. Aktor harus mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton merasa yakin bahwa yang ada di pentas bukanlah diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan. Untuk memperoleh akting yang meyakinkan tersebut, seorang aktor harus melatih kemampuan sukma/ pikiran secara benar. Di bawah ini disajikan latihan sederhana untuk mengolah kepekan pikiran yang disebut preparation atau disingkat prep. Istilah ini diperkenalkan oleh W.S Rendra sebagai bekal pemanasan bagi para aktor sebelum latihan maupu pementasan teater. Prep ini sebaiknya dilakukan dalam posisi duduk dan tidak bergerak kesana kemari. Posisi duduk ini bisa bersila di lantai, di tanah atau di rerumputan. Jangan lupa lakukan dengan mata terpejam untuk memudahkan pemusatan pikiran dan perasaan. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:

Mengatur Nafas. Hiruplah udara sebanyak-banyaknya melalui kedua lubang hidung, masukkan kedalam paru-paru, keluarkan secara perlahan, tidak terburu-buru, tidak terputus, terus berkesinambungan dalam irama yang ritmis. Lakukan dengan penuh perasaan, hayati setiap tarikan dan desahan nafas yang kita lakukan.

Mengaktifkan Penciuman. Cobalah cium semua bau yang ada dilingkungan tempat anda berlatih. Apakah bau apek, pengap, segar dan lain lain. Fungsi dari kegiatan ini berkaitan dengan tugas aktor yang harus main di berbagai setting dengan suasana beragam. Jika bermain disebuah kandang kuda yang banyak kotorannya dan mengeluarklan bau yang tidak sedap, tentu aktor akan mengeluarkan sapu tangan untuk menutupi hidungnya. Padahal Cuma diatas panggung dengan set yang realis.

Mengaktifkan Pendengaran. Dengar semua suara saat anda melakukan latihan. Dari mulai suara terjauh yang hanya terdengar sayup sayup, hingga suara yang paling dekat didengar oleh telinga kita. Kemudian suara yang didengar itu diseleksi, pilihlah salah satu, lalu pertahankan untuk waktu yang dikehendaki. Setelah itu lepaskan lagi, biarkan berbaur dengan suara lainnya. Bisa juga mendengarkan musik, lalu pilih salah satu instrumen saja yang mendapat perhatian serius. Misalnya suara drum saja, suara gitar atau suara instrumen lainnya.

Mengaktifkan Pencicipan. Julurkan lidah kemudian ciciplah apa yang bisa di cicip pada saat itu. Apakah rasa  asin, manis, pahit dan sebagainya. Kegiatan seperti ini dapat dirasakan manfaatnya ketika seorang aktor harus berakting memakan atau meminum sesuatu yang bukan barang aslinya. Misalnya meminum alkohol, padahal hanya air putih belaka.

Mengaktifkan Perabaan. Mengaktifkan peraban adalah melatih kepekaan rabaan tangan. Seorang aktor akan meraba pundak kekasihnya dengan lembut dan penuh perasaan. Padahal gadis itu bukan kekasihnya, tetapi hanya teman biasa. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan meraba tubuh sendiri dari mulai wajah serta anggota tubuh lainnya. Kenalilah setiap lekuknya dengan seksama. Bisa juga dilakukan dengan aktor yang lain dengan persetujuan terlebih dahulu tentunya.

Mengaktifkan Permukaan Kulit. Mengaktifkan permukaan kulit adalah melatih kepekaan tubuh terhadap iklim suhu udara sehingga pemain mampu menyesuaikan aktingnya dengan suhu yang ada dalam alur cerita. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan merasakan suhu pada saat melakukan prep, apakah dingin, panas, sejuk dan sebagainya.

Mengaktifkan Fantasi. Seorang aktor harus menyatakan cintanya, padahal didepannya adalah kamera. Maka si aktor tersebut harus mampu berkahayal bahwa dihadapannya berdiri sang kekasih pujaan hati. Caranya adalah dengan mendengarkan sebuah suara, lalu membayangkan asal suara tersebut, bentuknya seperti apa, rupanya bagaimana, warnanya apa dan seterusnya. Kemudian rangkailah sebuah cerita berdasarkan imajinasi tersebut. Jika ketujuh kegiatan tersebut telah dilaksanakan, maka bukalah mata secara perlahan dan selesailah prep.

c.  Olah Suara
Ada beberapa teknik olah vokal yang bisa diterapkan dalam ranah seni pertunjukan, di antaranya:
Artikulasi. Artikulasi adalah pengucapan kata dengan jelas dan benar.
Pernapasan. Pernapasan dalam olah vokal adalah kegiatan menghirup udara yang kemudian disimpan dan dikeluarkan sedikit demi sedikit sesuai dengan keperluan. Pernapasan terdiri dari tiga bentuk dan ini bisa dilakukan pada waktu latihan olah vokal, yaitu perrnapasan perut, pernapasan dada, dan pernapasan diafragma.
Kekuatan. Kekuatan dalam olah vokal berhubungan dengan pernapasan. Jika pernapasan bisa dilakukan dengan bagus, baik, dan benar maka kekuatan dalam mengeluarkan suara akan bisa dilakukan. Perlu diingat bahwa kekuatan dalam suara bukan kekuatan berteriak sekeras-kerasnya.

Latihan Olah Vokal
Agar ketiga poin di atas bisa tercapai dengan baik, maka diperlukan latihan-latihan yang benar. Latihan tersebut dilakukan sebelum melakukan olah vokal. Sebelum masuk ke teknik vokal biasakan lakukan pemanasan tubuh. Pemanasan yang standar adalah menggerakkan anggota badan dari kepala sampai kaki. Pemanasan dimaksudkan agar tubuh menjadi lentur dan ini bermanfaat bagi penyanyi panggung, agar kondisi tubuh tetap terjaga.
Sesudah lakukan olah tubuh, lemaskan badan. Tubuh usahakan rileks. Dan lakukan hal-hal di bawah ini:
- Lakukan pernapasan dengan tubuh yang rileks, posisi badan duduk dengan tegak dan kaki disilangkan. Tutup mata dan tarik napas perlahan-lahan, lalu hembuskan pelan-pelan. Lakukan sebanyak sepuluh kali.
-Tahap kedua tetap dengan posisi pertama. Perbedaannya, tarik napas perlahan-lahan, jangan dikeluarkan langsung. Tahan sampai sepuluh detik dan keluarkan perlahan-lahan. Lakukan sebanyak sepuluh kali.
-Setelah itu, lakukan olah vokal. Lakukan pernapasan dan pada waktu mengeluarkan napas, keluarkan atau bunyikan huruf vokal A I U E O secara bergantian.

Teknik Pernapasan dan Artikulasi
Pernapasan Perut. Lakukan cara pernapasan seperti di atas. Tahan napas di perut beberapa detik dan keluarkan huruf vokal A I U E O.
Pernapasan Dada. Lakukan cara pernapasan, tahan napas di dada beberapa detik dan keluarkan huruf vokal A I U E O.
Pernapasan Diafragma. Lakukan cara pernapasan, tahan napas di diafragma beberapa detik dan keluarkan huruf vokal A I U E O. Pernapasan diafragma cocok dipakai untuk mengeluarkan suara yang panjang dan melengking.
Artikulasi. Latihan ini bisa dilakukan dengan teknik pernapasan. Bedanya, vokal yang dikeluarkan adalah huruf vokal yang diulang-ulang. Contoh: kukukakikakekukeko Å“suaramusikberdentamdentum. Pengucapan dilakukan berkali-kali sekaligus tanpa ada jeda. Lakukan dengan dibarengi teknik pernapasan.

Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor Oleh Richard Boleslavsky
Richard Boleslavsky adalah seorang tokoh teater dunia dan merupakan murid Stanislavsky mengembangkan teori-teori akting gurunya dalam sebuah buku yang berjudul ‘Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor’ (Acting: The First Six Lessons, 1933). Kenam pelajaran tersebut secara ringkas dipaparkan sebagai berikut:

1.        Pelajaran Pertama : Konsentrasi
Konsentrasi bertujuan mengarahkan agar seorang aktor dapat dengan luwes mengubah dirinya menjadi orang lain, yaitu peran yang dibawakannya. Untuk mampu berkonsentrasi, seorang aktor harus berlatih memusatkan diri, mulai dari lingkaran yang besar, menyempit, kemudian membesar lagi. Meskipun latihan dilakukan di tempat-tempat ramai oleh suara hiruk-pikuk orang atau kendaraan, tetapi jika konsentrasi dilakukan dengan semangat kuat maka lakon akan tetap berjalan. Latihan konsentrasi ini juga dapat dilaksanakan melalui latihan fisik (misalnya yoga), latihan intelektualitas atau kebudayaan (misalnya menghayati musik, puisi, seni lukis), dan latihan sukma (melatih kepekaan sukma menanggapi segala macam situasi).

2.        Pelajaran Kedua: Ingatan Emosi
The transfer of emotion adalah cara efektif untuk menghayati suasana emosi suatu peran secara hidup, wajar dan nyata. Jika pelaku harus bersedih, dengan suatu kadar kesedihan tertentu dan menghadirkan emosi yang serupa, maka kadar kesedihan itu takarannya pas, tidak berlebihan, sehingga tidak terjadi over acting.

 3.       Pelajaran Ketiga: Laku Dramatis
Berlaku dramatis berarti bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi berdasarkan apa / siapa yang diperankan. Untuk itu diperlukan penghayatan kuat terhadap tokoh yang diperankan secara mendalam, sehingga dapat diadakan adaptasi.

 4.       Pelajaran Keempat: Pembangunan Watak
Aktor harus mampu membangun wataknya sesuai dengan tuntutan peran. Pembangunan watak tersebut didahului dengan menelaah struktur fisik, kemudian mengidentifikasikannya, dan selanjutnya menghidupkan watak tersebut seperti halnya wataknya sendiri.

 5.       Pelajaran Kelima: Observasi
Observasi terhadap tokoh yang sama dengan peran yang dibawakan. Untuk memerankan tokoh pengemis dengan baik, perlu mengadakan observasi terhadap seorang atau beberapa pengemis dengan ciri fisik, psikis, dan sosial yang sesuai. Latihan observasi ini dapat pula dilakukan dengan cara mengerjakan sesuatu yang pernah dilihat dengan pura-pura. Misalnya: adegan mengetuk pintu (padahal pintu tidak ada/pura-pura).

6.       Pelajaran Keenam: Irama
Sentuhan terakhir dalam suatu latihan drama adalah pengaturan irama permainan. Irama permainan ini, untuk setiap aktor, diwujudkan dalam panjang pendek, keras lemah, tinggi rendahnya dialog, serta variasi gerakan, yang harus dihubungkan dengan timing, penonjolan bagaian, pemberian isi, progresi dan pemberian variasi pentas.


Jembatan Keledai (12 langkah pemahaman karakter tokoh Menurut W.S Rendra):
1.       Catat dan hafalkan jati diri tokoh yang akan diperankan, seperti: Umurnya, pendidikannya, status sosialnya, keadaan ekonominya, dan sebagainya.
2.       Kumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus dilakukan oleh sang tokoh di dalam naskah.
3.      Kumpulkan sifat-sifat, watak sang tokoh, lalu hubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang harus dikerjakannya, kemudian ditinjau mana yang mungkin harus ditonjolkan sebagai alasan untuk tindakan-tindakan tersebut.
4       Carilah didalam naskah. Pada bagian mana saja, sifat-sifat itu mendapat kesempatan untuk ditonjolkan
5.      Carilah dialog-dialog, meskipun hanya mempunyai makna tersirat, tapi dapat diusahakan untuk menyembulkan maksud-maksud tersebut di atas.
6.   Ciptakan gerak air muka ( mimik ), sikap, dan gerakan anggota tubuh lainnya yang bisa menyatakan watak sang tokoh.
7.      Ciptakan timing yang akurat, supaya mimik dan gerakan anggota tubuh lainnya itu sesuai dengan dialog yang diucapkan.
8.      Rancanglah cara memberi isi kepada dialog, untuk memberikan tekanan dan penonjollan pada watak sang tokoh.
9.      Rancanglah garis permainan sedemikian rupa, sehingga gambaran tiap perincian watak disajikan dalam urutan tangga puncak, lalu tindakan yang terkuat dihubungkan dengan gambarn watak yang kuat pula.
10.  Usahakan rancangan tersebut diatas tidak berbenturan dengan rancangan sutradara.
11.   Hasil tindakan tersebut diatas bisa dianggap sebagai blocking dan bussines. Lalu dihafal sampai melekat dan menjadi kebiasaan.
12. Cara kerja tersebut diatas harus dihayati, dihidupkan dengan imajinasi dengan cara mengerahkan pemussaatan perhatian kepada pikiran dan perasabnm tokoh yang sedang dimainkan.***

MEMAHAMI SENI TEATER



Oleh: Huruwati Manengkey, SS




Teater. Barangkali kata ini bisa dirumuskan dengan sederhana: teater adalah seni peran, hasil kreatifitas yang ditampilkan di atas panggung, dsb. Namun demikian, apakah hanya dengan bermodalkan rumusan umum seperti itu, kita lantas sudah memahami teater? saya rasa tidak semudah itu. Sebagaimana ada teori yang mengemukakan bahwa seperti halnya berlian yang dari segala sisinya kita tetap bisa melihat kemilaunya. Begitupun sebuah pertunjukan teater, kita dapat melihat kemilaunya dari berbagai sisi, mulai dari sisi penonton, aktor, sutradara, penulis naskah, dll.

Dari semua sisi tersebut, menurut saya, menikmati kemilau teater dari sisi penonton merupakan aktivitas yang paling tak berbeban di pikiran orang-orang pada umumnya. Bukankah menyenangkan sekali bahwa sebagai seorang penonton, kita hanya perlu datang ke gedung pertunjukan, beli tiket, lantas duduk dan menyatukan emosi dengan lakon yang tengah dimainkan di atas panggung. Tertawa ketika hati geli, menangis ketika hati tersentuh, mengernyitkan dahi jika ada dialog yang maknanya sulit dipahami, atau bahkan hanya duduk diam sembari menggenggam tangan kekasih. Namun sebagai seseorang yang telah memilih untuk menyatukan emosi dengan organisasi Teater (baca: Theater Club), apakah memang sesederhana itu? Bisa jadi! Namun, saya kira dengan memilih untuk menyatukan emosi dengan Theater Club, berarti kita sudah sepakat untuk menjadi seorang pegiat teater. maka bayangkanlah betapa lucunya seorang pegiat teater yang memiliki pemahaman teater setara dengan orang-orang pada umumnya.

Nah, karena sebagai pegiat teater kita sudah sepakat bahwa kita harus punya pemahaman teater yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, sekarang coba bayangkan bahwa kita sedang menonton sebuah pertunjukkan teater. Bayangkan saja pertunjukkan apapun. Kira-kira apa yang akan anda komentari dari pertunjukan tersebut? Apakah jenis naskah? Kualitas akting? Tata panggung? Ataukah aktor/aktris yang ketampanan/kecantikannya menarik perhatian? Kira-kira seberapa jauh pemahaman anda tentang pertunjukkan tersebut?

Menurut Edward Wright, ada 7 prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai fondasi untuk membangun struktur pemahaman teater. ketujuh prinsip ini  dapat dipahami melalui pertanyaan berikut :

1.       Apa itu seni?

Chikamatsu Mongaemon (sastrawan jepang yang dijuluki Shakespeare-nya Jepang) mengemukakan, “art is the layer that lies between the skins of truth and falsity-that which is false but not false, true but not true-that is what gives us joy.” Melalui definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya seni itu adalah sebuah bidang yang memiliki tafsiran relatif. Misalnya, ketika kita menyaksikan sebuah pertunjukkan tentu saja interpretasi kita akan hal tersebut bisa jadi sama atau bahkan tidak sama. Hal ini dikarenakan sebab seni mengandung nilai estetis/keindahan, dan interpretasi terhadap keindahan selalu relatif.



2.       Apa saja komposisi seni?

Seni terdiri dari tiga elemen utama, yaitu substansi, bentuk, dan teknik. Adapun substansi seni tampak melalui apa yang ingin dikomunikasikan oleh seniman melalui karyanya. Nilai artistik dari substansi ini dapat diukur berdasarkan unsur originalitas, kebenaran, kualitas imajinatif, dan ketulusan yang tersirat melalui karya seorang seniman. Namun demikian, substansi hanya akan menjadi suatu rumusan abstrak jika tidak ada proyeksi akan hal tersebut. Maka untuk memproyeksikan substansi seni, maka diperlukan suatu bentuk, misalnya puisi, cerpen, novel, teater, atau bentuk seni lainnya.

Bentuk pada dasarnya merupakan aturan atau konvensi yang dibuat sebagai fondasi dari usaha memproyeksikan sebuah karya. Bentuk teater direfleksikan melalui empat jenis pementasan teater yaitu tragedi, melodrama, komedi, dan farce, serta enam aliran teater (aesthetic style of theater) yaitu klasik, romantik, realis, simbolis, ekspresionis, dan surrealis. Akan tetapi, bentuk yang ada bukanlah suatu bentuk paten yang tak bisa mengalami perubahan. Sebagaimana dikatakan bahwa bentuk merupakan konvensi, maka selalu ada kemungkinan bahwa bentuk yang sudah ada tersebut suatu ketika akan menjadi konvensional dan bisa saja berkembang sehingga akan bermunculan Teater Kontemporer yang relevan dengan situasi masa kini. Misalnya, sejarah menuliskan apa yang terjadi pada tahun 1920-an, dimana ketika itu muncul sosok Bertolt Brecht, seorang dramawan Jerman, yang mengguncang dunia teater lewat bentuk teater epik yang menentang ilusi dan empati di dalam teater, serta menonjolkan pada kekuatan narasi yang bertujuan untuk membuka pemahaman masyarakat untuk memahami kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu. Lewat bentuk Teater Epik, Brecht mengubah bentuk yang sudah ada sebelumnya, aliran romantik misalnya, dimana karakter yang ditonjolkan adalah karakter-karakter yang menarik/charming yang hanya dapat ditemukan dalam dunia teater saja, tidak dalam dunia nyata.

Teknik merupakan elemen ketiga yang merupakan komposisi penting dalam usaha mentransfer substansi ke dalam bentuk tertentu. teknik merupakan gaya personal masing-masing seniman dalam berkarya. Teknik berkaitan dengan struktur, tema, alur maupun strategi untuk mementaskan karyanya.



3.       Apa tujuan dari seni?

Aristoteles mengemukakan bahwa, “Tujuan seni bukanlah untuk merefleksikan apa yang tampak pada permukaan saja, melainkan harus merefleksikan sesuatu yang menyeluruh sebagaimana apa yang sebenarnya terjadi,”

Pada dasarnya, kita dapat memahami banyak hal lewat kehidupan. pemahaman inilah yang kemudian mendorong lahirnya sebuah bentuk seni. Akan tetapi, mengacu pada definisi di atas, kita perlu memahami bahwa seharusnya sebuah bentuk teater itu digerakkan bukan hanya untuk memberikan hiburan atau aesthetic pleasure saja, tetapi juga harus menggugah pemahaman masyarakat untuk memahami arti hidup yang mendalam.



4.       Bagaimana kita bisa memahami atau  bahkan mengevaluasi seni?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menerapkan dasar pemikiran Goethe (seorang dramawan romantik Jerman) yang terangkum dalam tiga pertanyaan:

-          Apa yang sebenarnya sedang ditampilkan oleh seorang seniman lewat karyanya?

-          Seberapa baik ia memproyeksikan karyanya di atas panggung?

-          Apakah yang ditampilkannya berdampak?



5.       Mengapa teater merupakan bagian dari seni?

Pada awalnya, teater bukan merupakan bagian seni. drama-lah yang merupakan bagian dari seni, khususnya seni sastra. Mengenai hal ini, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar antara drama dan teater. drama hanya merujuk pada naskah sebuah pementasan (written script), sementara teater merujuk pada naskah yang kemudian dipentaskan di atas panggung oleh aktor. Teater kemudian menjadi bagian dari seni karena akhirnya muncul pemahaman bahwa teater merupakan sebuah bentuk yang dapat dikombinasikan dengan bentuk seni yang sudah ada sebelumnya, misalnya gerakan tubuh yang kemudian berkaitan dengan gestur di bentuk seni tari, menggunakan musik yang berkaitan dengan seni musik, dan bahkan dalam upaya memproyeksikan naskah, teater juga berkaitan dengan bentuk seni visual/Visual arts seperti seni ukir, lukis, maupun arsitektur, dalam kaitannya dengan visualisasi naskah di atas panggung.



6.       Apa sebenarnya kewajiban dari teater?

-       Teater harus menarik bagi seluruh penonton, bukan hanya mengguggah ketertarikan individual tertentu saja.

-       Teater harus menampilkan sesuatu yang kelihatan nyata, bukan kenyataan yang sebenarnya.


7.       Apa kewajiban penonton terhadap teater?

Penonton merupakan penikmat teater yang pendapatnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh. Apresiasi penonton terhadap sebuah karya kurang lebih sama pentingnya dengan kontribusi sang seniman empunya karya beserta kru pementasannya. Namun, perlu diketahui bahwa bukanlah kewajiban seorang penonton untuk mengemukakan sesuatu yang dianggap seharusnya dilakukan di atas panggung. Oleh karena itu penonton diharapkan dapat mengevaluasi sebuah karya berdasarkan penilaian yang menyeluruh dengan terus berusaha mencari jawaban dari ketiga pertanyaan Goethe yang tersebut di atas.



Teater, pada dasarnya, merupakan bentuk refleksi kehidupan. Teater muncul sebagai salah satu bentuk kesadaran manusia bahwa ternyata kita hidup di dunia yang penuh dengan beragam emosi, kebencian, persaingan, konflik, kebaikan, cinta, kebahagiaan, dsb. Namun harus dipahami bahwa yang ditampilkan oleh seniman melalui karyanya hanya sebatas refleksi/cerminan kehidupan saja (theatrical reality), bukan menampilkan gambaran kehidupan yang sebenarnya (life’s reality). Dua istilah ini cenderung membingungkan. Barangkali ada yang menganggap bahwa Theaterical Reality merupakan salah satu elemen yang membuat sebuah pementasan teater dipahami sebagai sebuah pementasan yang hanya menampilkan kepura-puraan di atas panggung. Ya, memang dapat dikatakan demikian jika kita merujuk pada visualisasi akting dan tata artistik di atas panggung. Tetapi, substansinya tetap saja berdasarkan substansi kehidupan yang sebenarnya.

Selain itu, pada kenyataannya bahkan dengan mengacu pada prinsip yang sama, seseorang bisa saja memiliki pendapat/penilaian yang berbeda mengenai karya yang dipentaskan. Hal ini berkaitan dengan beberapa faktor yang berbeda, misalnya latar belakang pribadi maupun ketertarikan masing-masing.***