Oleh: Huruwati Manengkey, SS
Teater. Barangkali kata ini bisa dirumuskan dengan sederhana:
teater adalah seni peran, hasil kreatifitas yang ditampilkan di atas panggung,
dsb. Namun demikian, apakah hanya dengan bermodalkan rumusan umum seperti itu,
kita lantas sudah memahami teater? saya rasa tidak semudah itu. Sebagaimana ada
teori yang mengemukakan bahwa seperti halnya berlian yang dari segala sisinya
kita tetap bisa melihat kemilaunya. Begitupun sebuah pertunjukan teater, kita
dapat melihat kemilaunya dari berbagai sisi, mulai dari sisi penonton, aktor,
sutradara, penulis naskah, dll.
Dari semua sisi tersebut, menurut saya, menikmati kemilau
teater dari sisi penonton merupakan aktivitas yang paling tak berbeban di
pikiran orang-orang pada umumnya. Bukankah menyenangkan sekali bahwa sebagai
seorang penonton, kita hanya perlu datang ke gedung pertunjukan, beli tiket,
lantas duduk dan menyatukan emosi dengan lakon yang tengah dimainkan di atas
panggung. Tertawa ketika hati geli, menangis ketika hati tersentuh,
mengernyitkan dahi jika ada dialog yang maknanya sulit dipahami, atau bahkan
hanya duduk diam sembari menggenggam tangan kekasih. Namun sebagai seseorang
yang telah memilih untuk menyatukan emosi dengan organisasi Teater (baca:
Theater Club), apakah memang sesederhana itu? Bisa jadi! Namun, saya kira
dengan memilih untuk menyatukan emosi dengan Theater Club, berarti kita sudah
sepakat untuk menjadi seorang pegiat teater. maka bayangkanlah betapa lucunya
seorang pegiat teater yang memiliki pemahaman teater setara dengan orang-orang
pada umumnya.
Nah, karena sebagai pegiat teater kita sudah sepakat
bahwa kita harus punya pemahaman teater yang berbeda dengan orang-orang pada
umumnya, sekarang coba bayangkan bahwa kita sedang menonton sebuah pertunjukkan
teater. Bayangkan saja
pertunjukkan apapun. Kira-kira apa yang akan anda komentari dari pertunjukan
tersebut? Apakah jenis naskah? Kualitas akting? Tata panggung? Ataukah
aktor/aktris yang ketampanan/kecantikannya menarik perhatian? Kira-kira
seberapa jauh pemahaman anda tentang pertunjukkan tersebut?
Menurut Edward Wright, ada
7 prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai fondasi untuk membangun struktur
pemahaman teater. ketujuh prinsip ini
dapat dipahami melalui pertanyaan berikut :
1. Apa itu
seni?
Chikamatsu Mongaemon
(sastrawan jepang yang dijuluki Shakespeare-nya Jepang) mengemukakan, “art is the layer that lies between the skins
of truth and falsity-that which is false but not false, true but not true-that
is what gives us joy.” Melalui definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa pada dasarnya seni itu adalah sebuah bidang yang memiliki tafsiran
relatif. Misalnya, ketika kita menyaksikan sebuah pertunjukkan tentu saja
interpretasi kita akan hal tersebut bisa jadi sama atau bahkan tidak sama. Hal
ini dikarenakan sebab seni mengandung nilai estetis/keindahan, dan interpretasi
terhadap keindahan selalu relatif.
2. Apa saja
komposisi seni?
Seni terdiri dari tiga
elemen utama, yaitu substansi, bentuk, dan teknik. Adapun substansi seni tampak
melalui apa yang ingin dikomunikasikan oleh seniman melalui karyanya. Nilai
artistik dari substansi ini dapat diukur berdasarkan unsur originalitas, kebenaran,
kualitas imajinatif, dan ketulusan yang tersirat melalui karya seorang seniman.
Namun demikian, substansi hanya akan menjadi suatu rumusan abstrak jika tidak
ada proyeksi akan hal tersebut. Maka untuk memproyeksikan substansi seni, maka
diperlukan suatu bentuk, misalnya puisi, cerpen, novel, teater, atau bentuk
seni lainnya.
Bentuk pada dasarnya
merupakan aturan atau konvensi yang dibuat sebagai fondasi dari usaha
memproyeksikan sebuah karya. Bentuk teater direfleksikan melalui empat jenis
pementasan teater yaitu tragedi, melodrama, komedi, dan farce, serta enam
aliran teater (aesthetic style of theater)
yaitu klasik, romantik, realis, simbolis, ekspresionis, dan surrealis. Akan
tetapi, bentuk yang ada bukanlah suatu bentuk paten yang tak bisa mengalami
perubahan. Sebagaimana dikatakan bahwa bentuk merupakan konvensi, maka selalu
ada kemungkinan bahwa bentuk yang sudah ada tersebut suatu ketika akan menjadi
konvensional dan bisa saja berkembang sehingga akan bermunculan Teater
Kontemporer yang relevan dengan situasi masa kini. Misalnya, sejarah menuliskan
apa yang terjadi pada tahun 1920-an, dimana ketika itu muncul sosok Bertolt
Brecht, seorang dramawan Jerman, yang mengguncang dunia teater lewat bentuk
teater epik yang menentang ilusi dan empati di dalam teater, serta menonjolkan
pada kekuatan narasi yang bertujuan untuk membuka pemahaman masyarakat untuk
memahami kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu. Lewat bentuk Teater
Epik, Brecht mengubah bentuk yang sudah ada sebelumnya, aliran romantik
misalnya, dimana karakter yang ditonjolkan adalah karakter-karakter yang
menarik/charming yang hanya dapat ditemukan dalam dunia teater saja, tidak
dalam dunia nyata.
Teknik merupakan elemen
ketiga yang merupakan komposisi penting dalam usaha mentransfer substansi ke
dalam bentuk tertentu. teknik merupakan gaya personal masing-masing seniman
dalam berkarya. Teknik berkaitan dengan struktur, tema, alur maupun strategi
untuk mementaskan karyanya.
3. Apa tujuan
dari seni?
Aristoteles mengemukakan
bahwa, “Tujuan seni bukanlah untuk merefleksikan apa yang tampak pada permukaan
saja, melainkan harus merefleksikan sesuatu yang menyeluruh sebagaimana apa
yang sebenarnya terjadi,”
Pada dasarnya, kita dapat
memahami banyak hal lewat kehidupan. pemahaman inilah yang kemudian mendorong
lahirnya sebuah bentuk seni. Akan tetapi, mengacu pada definisi di atas, kita
perlu memahami bahwa seharusnya sebuah bentuk teater itu digerakkan bukan hanya
untuk memberikan hiburan atau aesthetic
pleasure saja, tetapi juga harus menggugah pemahaman masyarakat untuk
memahami arti hidup yang mendalam.
4. Bagaimana
kita bisa memahami atau bahkan
mengevaluasi seni?
Untuk menjawab pertanyaan
ini, kita dapat menerapkan dasar pemikiran Goethe (seorang dramawan romantik
Jerman) yang terangkum dalam tiga pertanyaan:
-
Apa yang
sebenarnya sedang ditampilkan oleh seorang seniman lewat karyanya?
-
Seberapa
baik ia memproyeksikan karyanya di atas panggung?
-
Apakah
yang ditampilkannya berdampak?
5. Mengapa
teater merupakan bagian dari seni?
Pada awalnya, teater bukan
merupakan bagian seni. drama-lah yang merupakan bagian dari seni, khususnya
seni sastra. Mengenai hal ini, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar
antara drama dan teater. drama hanya merujuk pada naskah sebuah pementasan (written script), sementara teater
merujuk pada naskah yang kemudian dipentaskan di atas panggung oleh aktor.
Teater kemudian menjadi bagian dari seni karena akhirnya muncul pemahaman bahwa
teater merupakan sebuah bentuk yang dapat dikombinasikan dengan bentuk seni
yang sudah ada sebelumnya, misalnya gerakan tubuh yang kemudian berkaitan
dengan gestur di bentuk seni tari, menggunakan musik yang berkaitan dengan seni
musik, dan bahkan dalam upaya memproyeksikan naskah, teater juga berkaitan
dengan bentuk seni visual/Visual arts
seperti seni ukir, lukis, maupun arsitektur, dalam kaitannya dengan visualisasi
naskah di atas panggung.
6. Apa
sebenarnya kewajiban dari teater?
-
Teater
harus menarik bagi seluruh penonton, bukan hanya mengguggah ketertarikan
individual tertentu saja.
-
Teater
harus menampilkan sesuatu yang kelihatan nyata, bukan kenyataan yang
sebenarnya.
7. Apa
kewajiban penonton terhadap teater?
Penonton merupakan penikmat
teater yang pendapatnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh.
Apresiasi penonton terhadap sebuah karya kurang lebih sama pentingnya dengan
kontribusi sang seniman empunya karya beserta kru pementasannya. Namun, perlu
diketahui bahwa bukanlah kewajiban seorang penonton untuk mengemukakan sesuatu
yang dianggap seharusnya dilakukan di atas panggung. Oleh karena itu penonton
diharapkan dapat mengevaluasi sebuah karya berdasarkan penilaian yang
menyeluruh dengan terus berusaha mencari jawaban dari ketiga pertanyaan Goethe
yang tersebut di atas.
Teater, pada dasarnya,
merupakan bentuk refleksi kehidupan. Teater muncul sebagai salah satu bentuk
kesadaran manusia bahwa ternyata kita hidup di dunia yang penuh dengan beragam
emosi, kebencian, persaingan, konflik, kebaikan, cinta, kebahagiaan, dsb. Namun
harus dipahami bahwa yang ditampilkan oleh seniman melalui karyanya hanya
sebatas refleksi/cerminan kehidupan saja (theatrical
reality), bukan menampilkan gambaran kehidupan yang sebenarnya (life’s reality). Dua istilah ini
cenderung membingungkan. Barangkali ada yang menganggap bahwa Theaterical Reality merupakan salah satu
elemen yang membuat sebuah pementasan teater dipahami sebagai sebuah pementasan
yang hanya menampilkan kepura-puraan di atas panggung. Ya, memang dapat
dikatakan demikian jika kita merujuk pada visualisasi akting dan tata artistik
di atas panggung. Tetapi, substansinya tetap saja berdasarkan substansi
kehidupan yang sebenarnya.
Selain itu, pada
kenyataannya bahkan dengan mengacu pada prinsip yang sama, seseorang bisa saja
memiliki pendapat/penilaian yang berbeda mengenai karya yang dipentaskan. Hal
ini berkaitan dengan beberapa faktor yang berbeda, misalnya latar belakang
pribadi maupun ketertarikan masing-masing.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar