Jumat, 06 Desember 2013

MEMAHAMI SENI TEATER



Oleh: Huruwati Manengkey, SS




Teater. Barangkali kata ini bisa dirumuskan dengan sederhana: teater adalah seni peran, hasil kreatifitas yang ditampilkan di atas panggung, dsb. Namun demikian, apakah hanya dengan bermodalkan rumusan umum seperti itu, kita lantas sudah memahami teater? saya rasa tidak semudah itu. Sebagaimana ada teori yang mengemukakan bahwa seperti halnya berlian yang dari segala sisinya kita tetap bisa melihat kemilaunya. Begitupun sebuah pertunjukan teater, kita dapat melihat kemilaunya dari berbagai sisi, mulai dari sisi penonton, aktor, sutradara, penulis naskah, dll.

Dari semua sisi tersebut, menurut saya, menikmati kemilau teater dari sisi penonton merupakan aktivitas yang paling tak berbeban di pikiran orang-orang pada umumnya. Bukankah menyenangkan sekali bahwa sebagai seorang penonton, kita hanya perlu datang ke gedung pertunjukan, beli tiket, lantas duduk dan menyatukan emosi dengan lakon yang tengah dimainkan di atas panggung. Tertawa ketika hati geli, menangis ketika hati tersentuh, mengernyitkan dahi jika ada dialog yang maknanya sulit dipahami, atau bahkan hanya duduk diam sembari menggenggam tangan kekasih. Namun sebagai seseorang yang telah memilih untuk menyatukan emosi dengan organisasi Teater (baca: Theater Club), apakah memang sesederhana itu? Bisa jadi! Namun, saya kira dengan memilih untuk menyatukan emosi dengan Theater Club, berarti kita sudah sepakat untuk menjadi seorang pegiat teater. maka bayangkanlah betapa lucunya seorang pegiat teater yang memiliki pemahaman teater setara dengan orang-orang pada umumnya.

Nah, karena sebagai pegiat teater kita sudah sepakat bahwa kita harus punya pemahaman teater yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, sekarang coba bayangkan bahwa kita sedang menonton sebuah pertunjukkan teater. Bayangkan saja pertunjukkan apapun. Kira-kira apa yang akan anda komentari dari pertunjukan tersebut? Apakah jenis naskah? Kualitas akting? Tata panggung? Ataukah aktor/aktris yang ketampanan/kecantikannya menarik perhatian? Kira-kira seberapa jauh pemahaman anda tentang pertunjukkan tersebut?

Menurut Edward Wright, ada 7 prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai fondasi untuk membangun struktur pemahaman teater. ketujuh prinsip ini  dapat dipahami melalui pertanyaan berikut :

1.       Apa itu seni?

Chikamatsu Mongaemon (sastrawan jepang yang dijuluki Shakespeare-nya Jepang) mengemukakan, “art is the layer that lies between the skins of truth and falsity-that which is false but not false, true but not true-that is what gives us joy.” Melalui definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya seni itu adalah sebuah bidang yang memiliki tafsiran relatif. Misalnya, ketika kita menyaksikan sebuah pertunjukkan tentu saja interpretasi kita akan hal tersebut bisa jadi sama atau bahkan tidak sama. Hal ini dikarenakan sebab seni mengandung nilai estetis/keindahan, dan interpretasi terhadap keindahan selalu relatif.



2.       Apa saja komposisi seni?

Seni terdiri dari tiga elemen utama, yaitu substansi, bentuk, dan teknik. Adapun substansi seni tampak melalui apa yang ingin dikomunikasikan oleh seniman melalui karyanya. Nilai artistik dari substansi ini dapat diukur berdasarkan unsur originalitas, kebenaran, kualitas imajinatif, dan ketulusan yang tersirat melalui karya seorang seniman. Namun demikian, substansi hanya akan menjadi suatu rumusan abstrak jika tidak ada proyeksi akan hal tersebut. Maka untuk memproyeksikan substansi seni, maka diperlukan suatu bentuk, misalnya puisi, cerpen, novel, teater, atau bentuk seni lainnya.

Bentuk pada dasarnya merupakan aturan atau konvensi yang dibuat sebagai fondasi dari usaha memproyeksikan sebuah karya. Bentuk teater direfleksikan melalui empat jenis pementasan teater yaitu tragedi, melodrama, komedi, dan farce, serta enam aliran teater (aesthetic style of theater) yaitu klasik, romantik, realis, simbolis, ekspresionis, dan surrealis. Akan tetapi, bentuk yang ada bukanlah suatu bentuk paten yang tak bisa mengalami perubahan. Sebagaimana dikatakan bahwa bentuk merupakan konvensi, maka selalu ada kemungkinan bahwa bentuk yang sudah ada tersebut suatu ketika akan menjadi konvensional dan bisa saja berkembang sehingga akan bermunculan Teater Kontemporer yang relevan dengan situasi masa kini. Misalnya, sejarah menuliskan apa yang terjadi pada tahun 1920-an, dimana ketika itu muncul sosok Bertolt Brecht, seorang dramawan Jerman, yang mengguncang dunia teater lewat bentuk teater epik yang menentang ilusi dan empati di dalam teater, serta menonjolkan pada kekuatan narasi yang bertujuan untuk membuka pemahaman masyarakat untuk memahami kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu. Lewat bentuk Teater Epik, Brecht mengubah bentuk yang sudah ada sebelumnya, aliran romantik misalnya, dimana karakter yang ditonjolkan adalah karakter-karakter yang menarik/charming yang hanya dapat ditemukan dalam dunia teater saja, tidak dalam dunia nyata.

Teknik merupakan elemen ketiga yang merupakan komposisi penting dalam usaha mentransfer substansi ke dalam bentuk tertentu. teknik merupakan gaya personal masing-masing seniman dalam berkarya. Teknik berkaitan dengan struktur, tema, alur maupun strategi untuk mementaskan karyanya.



3.       Apa tujuan dari seni?

Aristoteles mengemukakan bahwa, “Tujuan seni bukanlah untuk merefleksikan apa yang tampak pada permukaan saja, melainkan harus merefleksikan sesuatu yang menyeluruh sebagaimana apa yang sebenarnya terjadi,”

Pada dasarnya, kita dapat memahami banyak hal lewat kehidupan. pemahaman inilah yang kemudian mendorong lahirnya sebuah bentuk seni. Akan tetapi, mengacu pada definisi di atas, kita perlu memahami bahwa seharusnya sebuah bentuk teater itu digerakkan bukan hanya untuk memberikan hiburan atau aesthetic pleasure saja, tetapi juga harus menggugah pemahaman masyarakat untuk memahami arti hidup yang mendalam.



4.       Bagaimana kita bisa memahami atau  bahkan mengevaluasi seni?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menerapkan dasar pemikiran Goethe (seorang dramawan romantik Jerman) yang terangkum dalam tiga pertanyaan:

-          Apa yang sebenarnya sedang ditampilkan oleh seorang seniman lewat karyanya?

-          Seberapa baik ia memproyeksikan karyanya di atas panggung?

-          Apakah yang ditampilkannya berdampak?



5.       Mengapa teater merupakan bagian dari seni?

Pada awalnya, teater bukan merupakan bagian seni. drama-lah yang merupakan bagian dari seni, khususnya seni sastra. Mengenai hal ini, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar antara drama dan teater. drama hanya merujuk pada naskah sebuah pementasan (written script), sementara teater merujuk pada naskah yang kemudian dipentaskan di atas panggung oleh aktor. Teater kemudian menjadi bagian dari seni karena akhirnya muncul pemahaman bahwa teater merupakan sebuah bentuk yang dapat dikombinasikan dengan bentuk seni yang sudah ada sebelumnya, misalnya gerakan tubuh yang kemudian berkaitan dengan gestur di bentuk seni tari, menggunakan musik yang berkaitan dengan seni musik, dan bahkan dalam upaya memproyeksikan naskah, teater juga berkaitan dengan bentuk seni visual/Visual arts seperti seni ukir, lukis, maupun arsitektur, dalam kaitannya dengan visualisasi naskah di atas panggung.



6.       Apa sebenarnya kewajiban dari teater?

-       Teater harus menarik bagi seluruh penonton, bukan hanya mengguggah ketertarikan individual tertentu saja.

-       Teater harus menampilkan sesuatu yang kelihatan nyata, bukan kenyataan yang sebenarnya.


7.       Apa kewajiban penonton terhadap teater?

Penonton merupakan penikmat teater yang pendapatnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang remeh-temeh. Apresiasi penonton terhadap sebuah karya kurang lebih sama pentingnya dengan kontribusi sang seniman empunya karya beserta kru pementasannya. Namun, perlu diketahui bahwa bukanlah kewajiban seorang penonton untuk mengemukakan sesuatu yang dianggap seharusnya dilakukan di atas panggung. Oleh karena itu penonton diharapkan dapat mengevaluasi sebuah karya berdasarkan penilaian yang menyeluruh dengan terus berusaha mencari jawaban dari ketiga pertanyaan Goethe yang tersebut di atas.



Teater, pada dasarnya, merupakan bentuk refleksi kehidupan. Teater muncul sebagai salah satu bentuk kesadaran manusia bahwa ternyata kita hidup di dunia yang penuh dengan beragam emosi, kebencian, persaingan, konflik, kebaikan, cinta, kebahagiaan, dsb. Namun harus dipahami bahwa yang ditampilkan oleh seniman melalui karyanya hanya sebatas refleksi/cerminan kehidupan saja (theatrical reality), bukan menampilkan gambaran kehidupan yang sebenarnya (life’s reality). Dua istilah ini cenderung membingungkan. Barangkali ada yang menganggap bahwa Theaterical Reality merupakan salah satu elemen yang membuat sebuah pementasan teater dipahami sebagai sebuah pementasan yang hanya menampilkan kepura-puraan di atas panggung. Ya, memang dapat dikatakan demikian jika kita merujuk pada visualisasi akting dan tata artistik di atas panggung. Tetapi, substansinya tetap saja berdasarkan substansi kehidupan yang sebenarnya.

Selain itu, pada kenyataannya bahkan dengan mengacu pada prinsip yang sama, seseorang bisa saja memiliki pendapat/penilaian yang berbeda mengenai karya yang dipentaskan. Hal ini berkaitan dengan beberapa faktor yang berbeda, misalnya latar belakang pribadi maupun ketertarikan masing-masing.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar