Rabu, 09 Februari 2011

Puisi-Puisi Huruwaty Manengkey


AKU, KAU DAN SEPI


Detik menitik jatuh
Aku, kau
Tenggelam dalam aroma angkuh
Lalu sengaja kita biarkan bibir terkatup
Meski hati terus meletup
Perang sudah di mulai
Tapi tak ada gemuruh lontaran peluru
Hanya aku dan kau
Saling membunuh dalam sepi



  
MASIH SAMA


Meski purnama berkali-kali ganti nama
dan Jejak gemar jejaki pilu dan air mata
semesta masih saja serupa
hari inipun masih kemarin
Berkecamuk semu

Senyap kerap merayap ziarahi menit-menit usang yang tak kunjung tumbang
aku masih setia retasi kemarau
Menyatu bersama debu dan air mata
Jatuh cinta pada kucuran darah
tenggelam dalam pencarian penuh peluh
Hingga detak jenuh gelitiki rindu
lalu geliat tak lagi seirama

bahkan otakku pun terlanjur kebal tafsirkan getar
jadi aksara
lantas purnama siapa yang kan sisakan nada?
Barangkali hanya ada aku yang akan terperosok
dalam penungguan ini
Hingga derap menjejak
ketika angan terlepas di cakrawala




BUKAN PATUNG PAHATAN


Ketika malam menggendong purnama
Aku terhempas lagi dalam episode usang
Lidah membatu lengkungkan aksara yang berdenyut
Seperti tak bernyawa, aku hanya memaku
Bisu…
Segerobak puisi kering terus berdetak di kedalaman benak
Ah, bosan!!!
Sudahlah,,
Berhenti berkaca pada cermin tua
Berapa banyak jejak yang tertinggal??
Hitunglah,,
Lalu pandangi langit hari ini
Hingga kaupun tahu,
Rembulan bukan kenangan
Dan,
Aku bukan patung pahatan!!!




SEBUAH TANYA


Hatiku kah yang terlanjur membatu
Hingga dentang suaramu hilang dalam gendangku?
Seribu diam terlanjur bungkam rasa
Lalu,,
Seperti penanda,
Layaknya kelabu sebelum awan menangis
Akankah kisah ini akan berakhir tragis??

Sunyi…

Anginpun enggan berdesir




 KETIKA SUA SIRNA


Aku jatuh cinta pada sepi
Ketika arungi linangan purnama
Belajar gemar dengar nyanyian jangkrik
di pinggir rawa
Berkawan gemintang dan tarian kelelawar
Sayang, detik tak bisa setia
Ia gencar khianati debar
Lalu tak lama lagi purnama lelap
Dan cakrawala segera tetaskan cahaya
“ beri aku sedikit waktu lagi” , ujarku
Tapi ia enggan kompromi
Lalu ketika pagi mulai terbit
Purnamaku pergi..
Aku kembali memungut rindu yang terhempas angin malam tadi
Seperti puzzle..
Kadang aku harus merombaknya
Lalu memasangnya lagi
Di suatu detik
Ketika sua sirna




TANDA TANYA


Apalah artinya mimpi
Jika indera mati?

Apalah artinya bintang
Jika gelap hilang?

Apalah artinya sua
Jika debar tak ada?

Apalah artinya darah
Jika jantung lenyap?

Lantas,
Apa artinya sang kanan jika kiri tak lagi setia ??
Paksa tak bisa, diam tak tenang

Puisi-Puisi Ie Hadi G



DOA SEORANG ANAK DI DEPAN SEBUAH GEREJA

Bapak Yesus yang mulia
Aku sering dimarahi
Karena mengaku bahwa kau sahabatku

Aku berharap aku tidak salah
Dan izinkan aku terus melakukannya

Bapak Yesus yang terhormat
Bila klak aku bertemu muka dengan muka
Luangkan sedikit waktu untukku
Paling tidak, waktu buat peluk kakimu
Dan kaupun merangkulku
Sehingga yang sering memarahiku itu jadi tau
Ternyata benar
Kita ini sahabat

(15 Juli 2007)




SAHABAT DAN TERATAI

Tidak ada yang mau menggambar teratai di hatiku
Sekalipun telah hadir sketsa sungai di sana
Memanjang dalam benaman kabut
Yang airnya jadi tirai bagi kedalaman jantungnya

Arus
Dalam
Diam
Menelan

Yang mau menggambar teratai di hatiku ternyata tak ada

Di hadapan riak air telaga
Kupeluk bahu sahabat
Kubri kuas dan seraup tinta
Namun dia lebih memilih pergi
Membakar keringat
Menguapkan semangat
Dan tak mau menggambar di hatiku

Arus
Dalam
Diam
Menerkam
Lalu hilang

Akhirnya tinggal kupotret dalam kenangan
Rautan dari banyak nyanyian, sorak dan peluh
Bukti senyum dan getir bersama
Yang lalu lunglai dalam telaga bening
Tanpa tergambari teratai lagi

(1 Agustus 2007)



ISA

Hidup hanya semata tuk peluk duka
Mencucup segenap anggur basi
Mereguk habis semua campurannya
Itu rasa tak ada yang manis

Anak Domba
Terpasung dalam maut
Syarat langkah diri dari Elohim
Cawan tanpa isi airmata
Tanpa darah
Tidaklah cukup membasuh sekalian noda



LAYAKNYA KITA

Samper selesai dinyanyi
Banuaku masih dirintih
Dayung usai dikayuh
Prahu masih di pesisir duka
Maka mantra harus segera dirapal
Barisan kita perlu berarak
Lantakkan tanah kalau perlu
Biar penindas ciut
Lumatkan ke kubur kalau perlu
Biar gengghona dengar
Kita bangsa marah karena dera


(18 Februari 2005)



BERKAWAN DENGAN JUDAS

Penyair, saudaraku
Luap bening kata jiwamu
Selalu bersambut ciuman
Dari sederet judas
Pembenci ketulusan

Lihatlah,
Mereka tengah menggegam belati
Yang siap tusukkan khianat
Kala kita lengah


(19 Februari 2005)

Puisi-Puisi Dean Joe Kalalo


Divanda

Kutahu kau tak akan pernah membaca puisi ini, kekasih.
Sebab hatimu terlalu dalam untuk kuselam dengan kata-kata
Tapi aku tetap saja menulis puisi ini, kekasih.
Meski kabar tak akan pernah sampai
Karena takdir selalu tak sepakat dengan ketulusan
Kekasih, puisi ini tetap saja kutulis untukmu
Meski mungkin ia akan dihempas angin
Lalu pulang pada kesia-siaan
Namun bahagia kan selalu menemani keabadianku
Karena akan selalu kuingat
Aku pernah menulis sebuah puisi cinta
Untukmu .........

17 Desember 2008



Kepada Telingamu Yang Lemah

Dengan kata,
Perempuan tertidur

Dengan kata,
Perempuan bermimpi

Dengan kata,
Perempuan tersenyum

Dengan kata,
Perempuan menangis

Dengan kata,
Cinta terbunuh

2007



Sambunyi

Ngana bilang kita bisae
Mar kiapa ngana slalu haga pa kita
Deng cara bagitu

Ngana bilang kita beking pastiu
Mar kiapa ngana slalu senyum tiap kali
Bacirita deng kita

Ngana bilang kita bukang laki-laki istimewa
Mar kiapa ngana nyanda tolak waktu kita tanya pa ngana

Ngana bilang kita slalu beking dapa binci
Mar kiapa ngana manangis tahede-hede
Waktu kita kase putus pa ngana

Susah so kwa mo bilang
kalu ngana
Cinta mati pa kita

2008



Diary Setelah Pisah

Kini aku mengerti
Kenapa cinta
berwarna
Merah muda

Karena ia
Adalah simbol
Antara darah dan airmata

12 July 2009



Latah Intelektual

Hei tamang
Tau nyanda ngoni
Kalu skarang
lagi tren
Latah intelektual
Tren yang berkembang di kalangan orang-orang sorodo

tren  bakumur kata-kata ilmiah
Sampe bagabu tu lidah
tren elaborasi macam-macam teori
Sampe ta muntah-muntah

Samua fenomena luhe-luhe deng analisis
Spaya lebe mantap tu jati diri
Sbagai “budayawan”

Memang tragis
Ruang intelektual jadi tampa bapose
Tampa orang-orang ba make up
Deng macam-macam referensi
Spaya dapa lia fasung
Di mata masyarakat

Memang mengkhawatirkan
Ruang intelektual jadi pece
tampa orang-orang cari top
tampa orang-orang cari nama
mungkin dulu ambisi jadi artis
mar nya pernah kesampaian

Kasiang skali
Ruang intelektual jadi candu
Tampa orang se tunjung power
Tampa orang-orang makang puji
Beking-beking malimbuku fenomena
Spaya katu lebe dapa lia tu kesan
Sbagai orang cerdas

Tau nyanda ngoni tamang

Kalu skarang
Ruang intelektual
jadi tampa anjing-anjing
Baku-baku reno
Deng anjing-anjing laeng

Kalu skarang
Ruang intelektual
jadi tujuan
Dari orang-orang krisis identitas
Bukang jadi jalang
For mo bangong ni peradaban

So bole jo tamang
Kembalikan intelektual
Ke hakekatnya
for bangong ni kebudayaan

So cukup jo tamang
Kembalikan intelektual
Ke hakekatnya
for tampa torang
cari jalang kaluar

Bukang jadi tampa
ngoni
Beking-beking diri
Anjing-anjing!!!

7 Maret 2010



Sahabat

Hari ini
Di terminal
Di diskotik
Di balik meja
Di Mall
Di hotel
Di pasar
Di trotoar jalan
Di puncak gunung
Di kamar
Aku bersua dengan sesosok sahabat
yang sama
Sesosok sahabat bernama
sepi

23 Agustus 2010




Penyair

Ia
sang entah
Menulis lembaran dosa
Dosa yang entah
Menggelinjah sebagai darah di tintanya

Ia
menulis lagi
Untuk entah
Pada jam-jam luka
yang melagu
Bagai kidung hampa

Dan Kini
ia terkapar
Menanti kabar
Yang masih tersimpan
Pada sebait alamat
Yang entah

Puisi-Puisi Vick Chenorre


Kita Dan Desember

Ombak dan seribu pena berlarian di halaman
Mengintai kita
Laut dan gereja tenggelam, hanya dalam keinginan
Untuk saling berdekap
Dalam bunyi lonceng tembaga
Yang berdentam di atas menara
Menara itu mendiam
Mengunci angka dua belas di dinding rumahmu
Pada hari itu desember hampir selesai

Sama seperti tahun kemarin dinding itu warna ungu
Dan sekarang mungkin berganti
Saat kau menciumku seperti sepi tahun ini
Lalu kutulis sebuah sajak jauh kedalam lautmu
Di hari minggu yang surut, hari yang rela menyerahkan diri                                                                                kehari lain
Dan engkau menjadi bagian dari pergantian kenangan

Tataplah
Langit kita masih sama seperti yang dulu
Saat engkau membakar akhir desember dengan kembang api
Saat masih perahu dan layang-layang
Kita mainkan di teluk jiwa
Dan riuhnya kita
Adalah lilin yang harus hancur terkepung gulita

Percayalah
Sajak yang menjadi daun adalah aku
Di cabang darahmu, kita tak akan pernah tumbang
Kita tak harus lari, juga tak perlu mengintai cuaca
Sebab menit yang terkejar tak akan berubah
Selalu menjadi waktu dan kata-kata

Memang
Di luar terlalu gelap
Tak cukup menemukan sketsa wajahmu
Yang patah di raut embun
Tapi kekuatan itu ada dalam kelemahan
Pada keadaan kau akan mengerti
Tentang betapa beradunya lonceng di tiap natal
Tapi hari ini
Tak segampang menangkap wajahmu
Yang dulu selalu meniru gerak angin




Warna

Ada satu warna yang kukenal
saat langkah kaki itu menjauh
warna yang hanya dimiliki
angin dan airmata




Kamar Yang Jadi Tugu

Sebab kita bukan terbang pada angan-angan
di kamar ini.
karena darah baru saja terukir dengan indah
di atas pembaringan yang mulai mengering
sejak kata datang, justru mengamuk seperti pisau
membelah hati.
kamar ini hanya sejarah kusam
dan di sinilah tempat luka berunding
dengan waktu : memanggil kegetiran.
padahal lima belas menit lalu
hampir tak ada duri, di sini
karena pelukan yang sederhana baru kita lakonkan bersama
selanjutnya kamar ini tiba-tiba jadi penungguan.
mungkin kematian sementara.

tulang-tulang! jika engkau hargai tangisan
maka tekunlah bertahan
ini bukan sekedar penantian untuk meminang ketenangan
kamar ini masih berbau isakan
jangan menghapusnya, sekalipun aku lupa menghitung tusukan airmata
di kamar ini banyak derai terlepas, banyak canda tawa mengelupas
tapi waktu akan mengulang kedatangan
kau bisikan dera pada sepatah kata dan,
linangan kian terdesak ke angin yang cemas dan,
kita mesti menelan pecahan nyeri.

aku tidak lupa di kamar ini,
banyak cerita yang belum selesai semestinya jadi tugu
untuk mendamaikan rindu
kembali



Di Tikungan

Selamat pergi laras senapan
akhirnya kita berpisah
di tikungan
dekat perigi tempat air duka tumbuh




Kepada Annelis

Annelis, tidak ada tinta yang lebih baik
untuk menulis keperihan ini, selain airmata
engkau bunga yang bertahun-tahun kutanam dekat tungku
di atas perapian yang menyelinap di antara kisah
tergadai pada bara.

apa yang kita pertahankan lagi, letusan-letusan mendekat
mengiang di telinga, membangunkan diammu
yang berpura-pura mekar

betapa seringnya kita mengulang letusan
mendebarkan almanak, bergetar dan mengganti tahun
sebagai sebuah perang, membiarkan kita menangisi
ledakan demi ledakan.

sebutlah annelis
ada berapa fajar yang engkau temui
dan berapa senja yang berdusta pada gelap?
aku selalu di sampingmu, walau tak sesetia bayang

untuk apa genggaman ini, saat engkau sudah tahu
bahwa sangkur-sangkur terbidik ke dadaku
saat tebasan mengintai cinta, hingga aku tak bisa menerjemahkan aksara-aksara bara di matamu

dan pesisir di jiwamu mulai merunduk, dihantam ombak, kau menepi
terdampar bersama pasir, itulah jiwaku (tersobek-sobek) di sisimu

siapa yang berani menggenggam kehancuran, selain aku
mengobarkannya di saat subuh, kecuali engkau, annelis.

Theater Class VII, Tahun 2010

























Puisi-Puisi Henrolds Tatengkeng

TAK ADA SAJAK UNTUKMU


Meja kayu yang penuh tuangan rasa
Menjadi ring perkelahian antara pena dan kertas
Jemariku pun gemetar jatuhkan gumpalan tanya
Pertanda apakah itu?
Saat malam indah mengkristal di benak

Oh, malam menjadi gila dalam asbak hitam
Yang diam menunggu usapan air
Dan air itu sudah mengental dalam pena
Kata-kata pun berlarian tanpa arah
Tinggalkan kecut bergelinjang di jidat
Jantung tersentak laju mendayuh
Dada jadi kembang-kempis
Pada rongsokan keindahan malam

Inginku terlantar dalam genangan becek
Semua telah tak berdaya
Walau sunyi malam selepas hujan
Terus dengungkan namamu
Memaksa semua indera menyatukannya
Dalam tatanan agung sebuah bahasa

Mungkin ada yang terlupa ketika hari datang tadi
Hari yang mulai resah oleh rentetan cerita
Sekumpulan kenangan dalam ruang etalase hati
Yang telah ditata apik oleh jalannya waktu
Di sepanjang kesilaman masa
Ketika percintaan itu tak butuh kata-kata
Dan ketika kata-kata menjadi monumen huruf
Yang tak butuh pena dan kertas


 

PAGI DI JENDELA


Kemarin aku masih melihat rupamu
Menaruh jambang mawar di jendela kamar
Kau mandikan pada cahya pagi
Begitulah kau menyayanginya selama waktu
Hingga kemarin

Pagi tadi kau tak muncul
Tapi mawar itu sudah di jendela
Daunnya tampak lemah bergoyang
Di hembusan angin senja,
Ia akan layu

Dengan setumpuk gelisah tanya
Kuhampiri jendela kamarmu
Dan di bawahnya kelopak mawar berserakan,
Apakah ini sebuah pesan
Ragaku tersungkur

Sungguh keindahan telah menutup mataku
Dan membodohiku
Karena aku hanya bisa mengagumimu
Sebagai pembuka pagiku,
Kau telah pergi bersama rasamu




LEMAH


Tubuh ini tampak kelabu pada cermin
Langkah lengah menyeret derita
Pohon kehidupan pohon peneduh
Yang daun sudah berwarna kuning

Tanah ini tak indah lagi
Itulah wangsit yang harus kita lihat
Di mana mata selalu bertumpu
Sejauh cahaya masih ada

Aku jadi dahaga di bumi sendiri
Sedangkan air masih mengalir dari gunung
Dan langit masih turunkan hujan
Tetapi raga semakin sengsara




TERJERUMUS KELAM


Adalah sesosok jiwa
Menghitung titik kelam yang berarak
Dalam kabut musim kemarau
Datang dari masa lalu
Membumbung di atas kelana hati
Yang kian meranggas

Siang dan malam larut di dadanya
Tanpa beri selubung makna
Dari jalanan berbaris kenangan
Andai ada yang datang dari waktu nanti
Memberi iba seutuhnya atau sedikit
Kemudian melangkah ke beberapa waktu lalu
Biar terhitung bersama titik-titik kelam




TRAGEDI YANG PASTI

Pernakah kau berpikir tetap mengenang
Tamparan telapak malam
Yang hinggap tiba-tiba di pipimu
Dan membuat sekujur tubuh lumpuh
Kemudian kuku-kuku gelapnya
Mencabik-cabik dada
Kau tak bisa berteriak memohon pertolongan
Atau minta sedikit saja iba

Hanya mata yang berkaca-kaca
Dan gigi gemeretak menahan pedih,
Itulah bagian keganasan rindu malam
Yang merenggut kuat semua jiwa bertuhan
Dan bukankah Dia telah mengingatkan
Lewat sajak Sulaeman
Tetapi manusia adalah darah yang lemah
Dalam aliran nasihat dan peringatan
Keinginan mereka selalu tinggi melayang
Bahkan membuat dirinya sebagai pusat tata surya

Pernakah kau berpikir dan mengartikan
Kalau udara ini akan tiada dalam rasa dan ingin
Ia hanya satu, tetapi yang seperti kau begitu banyak
Merangkak, berjalan dan berlari
Bersama keangkuhan usia
Tanpa menyadari sisanya hanya sedikit
Dan itu dalam genggaman Khalik

Refleksi Hari AIDS sedunia, 1 Desember 2010