Senin, 07 Februari 2011

Naskah Drama Vick Chenorre: "Surat Bosias"


sang hampa
(diiringi tetabuhan tagonggong)
sejarah berkata sesudah segala peristiwa terjadi…… sejarah mencatat dan sejarah bicara……

ketika darah bertanya kepada sang detak, detak tak menjawab. ketika detak bertanya kepada sang nafas dan sang nafas tak menjawab. ketika sang nafas bertanya kepada sang waktu, sang waktu tak menjawab. dan ketika sang waktu bertanya kepada sang tuhan, sang tuhan tak menjawab, tetapi hanya memberi sesuatu, sesuatu itu adalah hidup dan hidup itu adalah pertanyaan. maka mulailah pertanyaan itu berkembangh biak memenuhi semua benda baik bernyawa dan tak bernyawa, berbentuk dan tak berbentuk, berwajah dan tak berwajah, ada dan tiada
pertanyaan itu hidup dalam henti dan gerak, dalam awal dan akhir, dalam belum dan sudah
dalam lahir dan mati, dalam sakit dan bahagia, dalam senyum dan tangis dalam sesuatu yang sebenarnya adalah tiada dan ketiadaan itulah pertanyaan.

inilah pertanyaan dari sebuah pertanyaan;


adalah kekosongan, segala hampa, dan kehampaan itulah awal ke”ada”an. suara tagonggong bertalu dalam sunyi membela gelap, menampar remang menyeret gelisah yang bernafas, membatukan sunyi ke tiap yang bernadi, ketiap yang berudara, ketiap yang sepi, batu, kerikil, tanah, kursi, ketakutan, bendera, layar, pedang, gigil, pasir, air, sungai, laut, telaga. dan …………… suara itu mengejar getar, gerak, pada tiap yang bertumbuh, pohn, akar, urat, daging, geligih, mata, debur darah, gegas jantung, sembur nafas, deras keringat adalah tinta, adalah tiada dan yang lahir itu menjadi ada manusia………….. sesosok manusia adalah sesosok pertanyaan, sesosok peristiwa, sesosok bayangan, segumpal kenangan dan memang………… apakah, siapakah, benarkah, mungkinkah, bukankah, ataukah, mengapakah dan untuk apakah.
dan bunyi jantung tanahku jantung tagonggong berdetak-detak, bertalu-talu, gerak itu bergerak, getar itu bergetar, tari itu menari, nyanyi itu menyanyi, tangis itu menangis dalam dingin, dalam angin, dalam jantung sunyi. bunyi tanahku dari jantung tagonggong adalah tiada dan tiada itu menulis yang ada menceritakan satu demi satu peristiwa, gelisah, amarah, cinta. ditulisnya dalam bunyi dalam getaran ketiaadaan dan bunyi itu adalah sebuah catatan tentang segala kesunyian.

instrumen soudtrack, tagonggong mereda, dari jauh ada teriakan memanggil sebuah nama, suara lelaki dalam lelah. lampu menyala. dan sosok tubuh keringat sekujur raga mengerang lesu, lambat, lelah. tangannya terantai. ia diseret oleh sebuah kursi. ia memanggil nama itu berkali-kali.


ese
bosias…. bosias…. bosias
mengapa kau tinggalkan leka sendirian di bukit. dia terbakar… dia terbakar… dia terbakar. (histerik, serak, melepas rantainya, mencengkram kursi, mengangkat seolah membantingnya ketanah. tuibuhnya gemetar. instrumen)
bosias…. mana tiang gantungan itu
(menurunkan kursi itu ketanah perlahan)
inilah sangi batu yang kau pikul itu.
(mendekati waktu dan berbicara dengan waktu)
waktu seperti pergi dan kembali, kemarin tak ada, yang ada hanya hari ini.
lahir mati lahir mati lahir…. bosias….
(mengulang kata-kata itu berkali-kali, kemudian keluar dengan cahya. musik mengalun, tagonggong bertalu-talu. masuk sesosok laki-laki memanggul pohon dan memancangkannya di tanah, kemudian mengambil tabung bambu yang berisikan surat-surat, dibelahnya tabung itu kemudian membaca surat tersebut)

sosok

ini surat-surat bosias dan di kepala anak-anak leka, kebenaran ini menjadi kotoran. tunas-tunas ini akan bertumbuh, akar-akar ini akan merayap, ranting-ranting ini akan berbuah dan buah itu akan membakar leka.
(mengambil air, menyiram tunas, kursi, batu, tanah,)
bertunaslah, bertumbuhlah. kau akan subur oleh air mata, kau akan hidup oleh darah. akan ada rasa haus dan akan ada rasa puas. kau akan hidup diantara api dan air, semua akan menagih, pedang akan menembas, jala akan menangkap, tali akan melilit, pisau akan menyayat, lembing akan menikam, telur akan meletus, api akan membakar, tinta akan menulis.
(mendekati kursi dan menyiramnya kembali, kemudian memasang lilin)
bertunaslah
bertumbuhlah
kau akan menjadi api yang membakar kebenaran
kaulah kemuliaan, tapi akan ada darah, nyawa-nyawa yang terkupas, nafas-nafas yang terlepas, kepala-kepala yang terpenggal, tangan-tangan yang diikat, tubuh-tubuh yang dibelenggu, lambung-lambung yang terbungkam, kelaparan, kematian, kesengsaraan, kemiskinan, perang akan lahir dari rahimnya.
untuk itu pilihlah siapa yang menjadi anakmu. kaulah kemuliaan yang nantinya ternoda oleh tangan-tangan kelaparan.
(mendekati sepotong kayu dan menggergajinya)
inilah jaman, tak ada yang bisa menerka jaman
dari waktu kewaktu, roda selalu berputar menggilas kehidupan.
(mengambil biji-bijian, menaburnya kesegala arah)
seperti benih waktu menebar kesegala arah
seperti garam, ia memberi rasa
seperti telur, ia meledakkan badai kebenaran dimana-mana
seperti debu, ia terbang kemana-mana
(melemparkan garam, telur dan tepung. kemudian keluar. tagonggong bertalu-talu, nyanyi pedih terdengar mendekat/syair sangi. sesosok timade masuk memanggul palang salib, menancapkannya ketanah. besamaan dengan itu ese masuk dengan membawa kepala manusia dan meletakannya di atas kursi.)

timade

(menyanyikan syair kepedihan yang teramat menyayat)

ese

kepala ini mencari tuannya………..
aku telah berjalan ke utara mencari bosias
dan dukaku leka terbakar
dan tangisku leka terbakar.
kenapa kau tinggalkan leka sendirian di bukit (bertanya kepada timade)
bosias… bosias… bosias dimanakah kau?
kau tahu apa yang kutanam di jantung anakmu? apa…? apa…?
kayu itu…. tiang itu…. burung dan perempuan bertelur disana
(mendekati tiang salib itu, nyanyian sangi dan tagonggong mengalun. ese menangis, memeluk tiang itu, kemudian membanting tubuhnya ditanah. syair sangi semakin terdengar pedih, merobek lapisan-lapisan tubuh hingga membelah jantung. ese mencengkram tubuh timade, lalu bertanya)
dimana…. dimana…. dimana…..
dimanakah kau bosias? (sejenak merenung)
leka di bukit utara
dia terbakar, dia hangus

timade

(menyanyi lebih keras, dan tiba-tiba bungkam, mengambil alat musik dan memainkannya, bergantian dengan syair sangi yang dilagukannya. ese diam termenung memperhatikan timade dengan wajah terngangah. timade berhenti memainkan alat musik kemudian berbicara)
orang-orang utara…… orang-orang utara terlantar……. orang-orang utara menangis. kau tahu itu? kau tahu itu? (bertanya kepada semua benda yang ada di sekeliling)
siapa pun yang mampu menjalankan kebenaran, ,dialah yang berhak duduk diatasnya, dari manapun asalnya. keempat mata angin yang ada di cakrawala ini adalah pintu menuju bukit itu. (kembali memainkan musik berirama sedih)

ese

bosias?

timade

menggeleng

ese

leka?

timade

dia hanya wajah, dia hanya ibu, dia hanya rahim, dari getahnya aku hidup.

ese

siapa…….?

timade

menuju kursi mengambil kepala, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak membantingnya
wabah………..

kemudian membantingnya


tunas

berteriak histeris sambil mencabik-cabik tubuhnya, bergerak seperti sebuah tarian, berteriak lagi lalu menangis. sejuta sesal, sejuta amarah, sejuta pedih bercampur didadanya.
wabah……
wabah……
kalian membakarku
aku ibu… ibu… ibu…
(terus menangis kemudian bersenandung ave maria. saat itu ese mendekati tiang waktu kemudian memainkannya kembali)

timade

suara dari utara
dari bukit tempat suara terbakar,
suara-suara itu,
suara-suara anak utara
tanyakan kepada mereka.

ese

lahir mati lahir mati lahir mati (diulang berkali-kali)

timade

anakku tinung berkata; kata sudah mati
anakku hede berkata;………………….
anakku yopo berkata; selamat malam kata-kata
anakku yakang berkata; ada dari tiada dan tiada itu kosong belaka
(kembali memainkan musik syadu)

tunas

rahimku terbakar
rahimku menangis
rahimku terkelupas
lava… lava… lava… dari bukit itu
gelisah, berdaya tak.

ese

lahir mati lahir mati lahir mati…….

timade

mereka adalah anak-anakku
anakku dan leka.
(memainkan musik)



ese
bosias?

timade
dia bapaku.

tunas
aku lava… lahir anak-anak badai

ese
siapa anak-anak itu?

timade
api, pedang, angkara, peluru, tombak, mantra, jirah dan kata. merekalah generasi akar yang merayap dan menebas setiap orang. orang yang membuat timbangan di bukit tak seimbang.

ese
aku ingin bertemu bosias

timade
kau telah bertemu dengannya sebelum engkau lahir.

ese
siapa yang mempertemukan kami

timade
leka…. ibumu dari utara

ese
apakah aku anakmu?

timade
menggeleng

ese
apakah aku anakmu?

tunas
bunga dirantingku bertempur dengan hujan dan cuaca

timade
dan generasi itu mati.
aku. saksi.
(kembali menyanyi dengan diiringi tagonggong, ia melagukannya dengan penuh kesedihan)

ese
(sementara eshe mendekati tunas pohon, kursio, tiang gantungan, ia bertanya kepada mereka bergantian)
kaulah kata pertama yang disebut bosias
ibu, ataukah perempuan.

tunas
menangis

timade
beranjak pergi

ese
kau mau kemana? (bertanya kepada timade)

timade
bersaksi.
(membaca sepucuk surat)
bosias… bosias hanya waktu yang berputar, matahari yang menyala. siang, malam, rahim, bintang, laut, daratan, gunung, mata, telinga.
bosias… ya bosias telah mati berkali-kali di lambung. dan dia hanya memilki satu kelahiran.
bacalah warna, bacalah lilin, bacalah gerak, bacalah cuaca, bacalah laut, bacalah langit, bacalah dirimu. bacalah pasir, bacalah batu, bacalah hujan, bacalah badai, bacalah lahir, bacalah mati, bacalah darah, bacalah ombak, bacalah tanah dan bosias akan ditemukan.
(kemudian memainkan lagi irama syadu. tagonggong bertalu-talu)

tunas
menari dalam gerak dan ekspresi sedih,

ese
mengambil cat dan mulai mencat kursi dengan berbagai warna, hingga semua benda disekelilingnya dicat)
terlalu banyak warna adalah celaka
manusia dijajah warna………
warna membunuh warna,
kata membunuh kata
akar terbakar
ranting-ranting terbakar
buah-buah terbakar
(menari dalam dingin tangisan)

tunas
memasang lilin memberikannya kepada ese
air mata dari api anak-anakku.

ese
mengambil lilin dan meneteskannya ke wajahnya
leka terbakar… terlalu banyak warna.
leka terbakar… bunda terbakar
leka terbakar…
bosias.. bosias..  (kemudian merantai kursi lalu keluar panggung)
timade
membawa telur (balon) kemudian membawanya didekat tunas lalu memecahkannya.
dunia panas…. dunia panas… tapi tak cukup menetaskan sebutir saja telur. telur-telur menetas, kelahiran  terlahir dengan wajah penuh kelupas.

Lampu mati di panggung.
Saat sosoki telah berada di panggung lampu menyala
Sementara suara perempuan menangis seperti orang melahirkan

sosok
surat bosias yang terakhir
ada yang memanggil anakku. bosias, bosias akan lahir
bosias akan menetas dalam tubuhmu. (mendekati pohon)
leka akarmu terbakar, akarmu dari utara, anak-anakku, di rantingmu; di bukitmu….. leka….. burung-burung dan perempuan bertelur…. bosias akan lahir, bosias akan menetas, dan orang-orang ini akan memanggil namaku, nama bapaku, namamu leka…
(bersamaan dengan itu terdengar teriakan perempuan dan kelahiran itu lahir)
aku bukan bosias… aku juga bukan mesias, aku bukan kristus. dan dia bukan leka, tetapi kamilah kelahiran. (berkata dengan nada berapi-api)

kelahiran
dan sang kelahiran telah lahir. sebuah janin.
irama sendu ave maria dimainkan timade membawa janin bergerak perlahan

tunas
aku telah lama berdiam dalam luka negeri ini, tetapi apa pilihan untuk tetap merdeka dalam penjajahan ini. orang-orang mencari kebenaran, tapi kebenaran itu telah lama bersembunyi dalam rahimku, dalam akar-akarku, diatas tubuhku ini, telah lahir kemuliaan. tapi keserakahan anak-anakku membakarnya. ya…. mereka membakarnya di golgota. di atas bukit anakku, bendera telah retas tubuh anakku tergetas, tertebas jantungnya, tangan-tangan itu meremasnya.
(menyanyikan ave maria)

timade
negeri ini panas, tapi tak mampu menetaskan sebutir telur, leka kau telah terbakar karena kemuliaan itu.
anak-anakmu, ………anakmu menetas seperti api.
meledakkan kebenaran.



lampu mati, pementasan selesai






 



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar