Senin, 07 Februari 2011

Cerpen karya Dean Joe Kalalo; "Indera"

BARU kali ini Adolf merasa dirinya digerogoti penyakit yang betul-betul janggal. Beberapa alat vitalnya sebagai seorang manusia lengkap, kini cenderung tidak konsisten menjalankan job descriptionnya. Mulanya memang ia tak yakin. Tapi setelah melalui uji fungsional yang telah diulangnya kesekian kali, Adolf merasa perlu untuk tidak lagi memperlakukan gejala ini secara main-main.

Semua bermula ketika tiga hari lalu ia pergi ke toko kaset untuk membeli album terbaru Kelly Klarkson, salah satu dari puluhan diva favoritnya. Di usia yang nyaris menapaki setengah abad, ia bukannya tak menyelami perkembangan dunia musik kontemporer. Jawara idolnya negeri paman sam itu hanya salah satu penyanyi yang menggugah selera musiknya. Masih ada Madonna, Britney Spears, serta beberapa penyanyi wanita sexy lain yang juga sangat digilainya.

Dengan tidak sabar Adolf membelandang keluar dari Mega Mall menuju Blazer hitam berplat merah kesayangannya di tempat parkir. Tape langsung dihidupkan dan CD original berharga ratusan ribu itu segera dipasang. Adolf bersiul-siul sendiri sambil tidak sabar menanti menggemanya irama hits terbaru sang idola. Lima menit berlalu dan tak secuilpun irama lagu terdengar. Menginjak menit ke sepuluh keceriaan di wajah Adolf memudar diganti dengan perasaan dongkol.

“Tape sialan!” makinya dengan nada kesal. Namun setelah ditimang-timang ia teringat kalau tape buatan Jepang itu baru selesai diservis seminggu lalu. Mustahil tempat reparasi bertarif mahal gagal membetulkan kerusakan tapenya yang tergolong tidak parah. Hanya beberapa komponen kecil saja yang tak berfungsi. Masih dengan kedongkolan yang sama ia bergegas kembali ke toko kaset tadi.

“Maaf, saya ingin menukar CD yang saya beli tadi dengan yang baru” ketus Adolf kepada penjaga kasir.
“Memangnya kenapa Pak?”
“CD itu sama sekali tak berfungsi di tape saya. Sedangkan saya baru saja memperbaikinya seminggu yang lalu. Pasti ada yang tidak beres dengan produk kalian”.
“Kaset ataupun CD yang dijual di sini semuanya produk asli, jadi tidak mungkin bermasalah” si kasir mengajukan pembenaran.
“Tapi CD itu benar-benar tidak mengeluarkan suara” ujarnya beranjak geram.
“Kalau begitu sebaiknya kita putar dulu di sini untuk membuktikan kebenarannya” tukas si kasir menawarkan solusi.
“Silakan kalau itu mau kalian”. Adolf menatap penjaga kasir itu penuh dendam. “Kita lihat saja siapa yang keliru” desisnya marah.

Si kasir dengan tenang memasukkan CD itu ke dalam tape. Adolf melototkan matanya lebar-lebar seolah tak sabar mengumpat si kasir begitu apa yang diyakininya terbukti benar.

Setelah lima detik si kasir tersenyum. Lima orang karyawan lain yang rupanya telah mengamati sejak tadi pertengkaran ini juga tersenyum.

“Betulkan Pak. Ternyata memang tape bapak yang rusak” ujar lelaki itu puas.

Adolf tercekat. “apanya yang rusak, lagunya kan tidak keluar”

Begitu mendengar umpatan Adolf seluruh orang-orang di dalam toko kaset, tak terkecuali pengunjung, kontan terbahak.

Seketika itu juga raut wajahnya memerah seolah telah meneguk sebotol Cap tikus.

Dengan perasaan kalah ia beranjak dari tempat itu. Sel-sel otaknya secara simultan mulai menganalisa apa yang terjadi. Virus mematikan apa yang hinggap di telingaku hingga ia tak mau lagi menerima suara penyanyi yang kugemari. Pikir Adolf tak mengerti di dalam mobil. Sebetulnya ia ingin buru-buru pulang kerumah karena perutnya sudah merengek-rengek minta diisi sejak tadi. Memimpikan menyantap Ragey yang dibuat istrinya sebelum ia pergi keluar. Namun keinginan itu tidak lagi menjadi motivasi utamanya untuk segera pulang. Setiba di rumah kedua kakinya melangkah tergesa-gesa ke dalam kamar. Membongkar sejumlah koleksi CD penyanyi-penyanyi favorit yang berjejer rapi di dalam lemari.

Masih dipenuhi kegetiran ia mencoba memutar kembali koleksi tadi satupersatu. Tangan kanannya terlihat gemetar.

Dan,….Adolf tertunduk lesu. Saat itu juga ia segera berkesimpulan bahwa memang ada yang tidak beres dengan indera pendengarnya. Tak ada satupun dari jejeran CD itu mengeluarkan suara.

“Sebaiknya kita ke dokter ahli” usul istrinya setelah ia menuturkan musibah yang telah menimpa.

“Ya sudahlah. Siapa tahu saja ini memang murni masalah medis”

“Akhir-akhir ini mama lihat papa terlalu lelah. Sebaiknya papa lebih banyak lagi meluangkan waktu untuk istirahat. Penyakit jaman sekarang memang suka aneh-aneh. Jangan-jangan papa sedang menderita Skizofrenia. Di tabloid yang mama baca, penyakit itu sering menyerang orang-orang modern”

“Ah, aku tak percaya dengan penyakit-penyakit aneh itu. Kita lihat saja hasilnya besok” jawab Adolf menghibur diri.

Di atas ranjang istrinya dengan centil memberikan sebuah isyarat yang sangat pribadi. Adolf menggeleng, tidak menanggapi kode rahasia yang hanya dipahami mereka berdua itu.

Dua jam berusaha, Adolf gagal merayu kedua matanya untuk terkatup. Sementara istrinya sudah melayang ke langit ketujuh dengan dengkuran yang menggetarkan telinga. Kegelisahan yang akut membuat keringat dingin mulai melumuri sekujur tubuhnya. Ia coba mengusir stres dengan menghidupkan sebatang rokok. Dilumatnya dalam-dalam untuk mengalihkan fokus pikir ke pokok yang lain. Semuanya sia-sia. Persoalan ini terlalu rumit untuk disingkirkan.

Bingung melakukan apa, Adolf memutuskan nonton film saja. Melalui pilah-pilah yang dilakukannya selama sepuluh menit, pilihannya jatuh pada salah satu film favorit, Basic Insting, film terseksi abad ini. Tak sekalipun ia jenuh meski telah menonton film itu entah ke berapa belas kalinya.

Adolf menyalakan TV sembari memasang film. Segelas kopi kini terhidang di meja kecil sebelah kiri tempat tidurnya. Sambil menghela nafas panjang tombol remote control dipencetnya tenang.

Namun, kembali Adolf berang. Bukannya pose seksi Sharon Stone atau akting memukau Michael Douglas yang muncul melainkan sebuah layar tanpa gambar secuilpun.

“Apa-apaan lagi ini” bisiknya sendiri.

Ia mendentamkan TV dengan telapak tangan. Tak ada gambarnya juga. Istrinya yang terbangun karena dentaman tadi menjadi ketakutan.

“TVnya kok dipukul-pukul Pa, bisa rusak nanti!”
“TV ini mesti diservis Ma, Tabung gambarnya rusak mungkin”
“Itu filmnya sudah mulai” sahut sang istri memberi tahu.
“Mulai apanya, gambarnya saja tidak ada”

Keributan di kamar depan itu membuat seluruh penghuni rumah terbangun. Dan dari pembantu hingga si bungsu Jacklin, semuanya sepakat kalau tidak ada masalah dengan layar TV itu. Adolf terisak dalam pelukan istrinya. Kedua putra-putrinya yang lucu-lucu duduk di samping tempat tidur sambil terus memberi dukungan moril untuk ayah tercinta. Adolf tampak lesu hingga untuk meluapkan kejengkelannyapun ia tak punya energi lagi. Mengalami gangguan serius pada dua indera vital, jelas membikin siapapun resah.

“Jangan-jangan ayah didoti orang” ujar si sulung Marcel menduga-duga.
“Hush, jangan asal ngomong kamu. Yang begitu-begitu semuanya omong kosong” potong ibunya dengan nada keras. Sebagai ibu rumah tangga modern mempercayai mitos seperti itu sama juga dengan membuang-buang waktu untuknya.

Namun celoteh spontan anaknya mengundang Adolf merenung-renung. Reputasinya yang cukup diperhitungkan di daerah itu memang cukup rentan memancing rasa sirik orang. Sudah banyak pejabat-pejabat penting meninggal secara tak wajar atau mendapat penyakit aneh karena dikabarkan kena guna-guna saingan-saingan politiknya. Lima bulan lalu secara meyakinkan Adolf meraih kursi di kancah legislatif menundukkan beberapa pesaing. Peraihan suaranya cukup mencolok mengingat memang ia figur yang telah lama dikenal di daerah itu. Bermacam metode terselubung telah ia terapkan demi merengkuh posisi penting ini. Meski terselubung, tetap saja di mata masyarakat semuanya tampak bersih dan mengkilat. Membikin siapapun silau hingga tak tahan untuk melubangi kertas bergambar wajah tampannya. Dukungan partai yang lumayan sangar di masa lalu menjadi salah satu faktor keberhasilannya.

Keesokan hari Adolf mengunjungi seorang dokter ahli ternama.
“Berapapun saya bayar dok, asal dokter bisa menyembuhkan kelainan yang saya derita ini” todong Adolf tak sabar.
“Saudara tenang dulu. Nanti saya periksa beberapa indera bapak yang katanya memiliki kelainan itu”

Adolf mengikuti dokter gemuk itu ke ruang sebelah untuk diperiksa. Sementara istrinya menunggu dengan berdebar-debar di luar.

Setelah diperiksa sekitar sepuluh menit dokter beralih ke ruang sebelahnya lagi untuk berdiskusi dengan temannya sesama dokter. Adolf disuruh kembali ke ruang tunggu.

“Bagaimana dok?” tanya Adolf cepat.
Dokter menanggalkan kacamatanya. Wajah dan pakaian putihnya mulai basah oleh keringat.
“Ehm.. begini, ada bagian-bagian tertentu dari organ bapak yang sudah tidak berfungsi lagi. Tapi kami masih bingung bagian mana yang tak lagi bekerja itu. Kemampuan tenaga medis di sini belum bisa menangani penyakit serumit ini. Saya sendiri baru sekarang menghadapi kasus seperti begini”
“Jadi dok?”
“Sebaiknya bapak coba memeriksakan diri pada tenaga yang lebih ahli lagi”
Pernyataan dokter kontan membuat Adolf dan istrinya panik.
“Di mana bisa saya peroleh tenaga lebih ahli lagi dok?”
“Di luar negeri. Mungkin Singapura atau Jepang”

Adolf terdiam. Untuk sekarang agak sulit baginya kalau harus ke luar negeri. Minggu lalu ia baru saja kembali dari Mesir dalam rangka studi banding bersama anggota legislatif komisi X lainnya. Walau sesungguhnya ia tak akan membantah bila ada orang yang menuduh keberangkatan mereka tak lebih dari sekadar berdarmawisata. Menghamburkan ratusan juta dengan berbelanja dan jalan-jalan di negeri orang.

“Ke paranormal saja. Saya kenal orang pintar yang cukup sakti mengobati penyakit aneh begini” saran Ferry temannya ketika Adolf melancong ke rumahnya yang mewah.
“Kamu yakin dia bisa menyembuhkan saya?”
“Ya dicoba dulu lah. Yang jelas sudah banyak orang mengaku puas setelah melakukan konsultasi dengan orang pintar itu” lanjutnya meyakinkan.

Adolf merasa tak punya pilihan. Satu-satunya solusi yang tersisa memang mengadu pada paranormal.

Siang itu juga kedua pria berpakaian rapi ini mengunjungi tempat paranormal membuka praktek. Entah kepada siapa lagi ia akan mencari solusi kalau cara yang satu ini gagal menghasilkan jalan keluar. Kekomplitannya sebagai seorang manusia bermartabat tinggi tercoreng sudah di mata orang banyak. Dan yang paling penting ia tak bisa lagi menikmati lagu-lagu dan film-film kegemarannya.

“Kali ini pasti berhasil” tukas Ferry menyugesti. Sedan hitam melancong ke sebuah pekarangan di ujung kota. Rupanya si paranormal sudah menunggu lantaran Ferry telah memesannya lewat telepon tadi. Adolf diperintahkan masuk pada sebuah ruangan agak gelap. Penerangan lampu lima watt membuat segala sesuatu terlihat samar.
“Bagaimana pak, apanya yang bermasalah pada tubuh saya”
“Sebetulnya tidak ada yang bermasalah. Semua bagian penting pada tubuh anda sehat-sehat saja”
Mendengar kabar baik itu sejenak nafas Adolf mengalir normal.
“Terus kenapa mata dan telinga saya sering angin-anginan pak?”
“Hm..” si paranormal memejamkan matanya sebentar. “sebetulnya persoalannya sederhana saja. Mata dan telinga anda angin-anginan karena sudah tidak difungsikan lagi”

Adolf mengernyitkan dahi. “yang benar saja, justru mereka yang enggan saya fungsikan. Bapak bagaimana sih” jawabnya spontan.
“Maksud saya kedua indera bapak itu ngambek karena sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya”
“Saya jadi tidak mengerti. Selama ini mereka selalu saya fungsikan secara benar. Mata saya pakai melihat dan telinga saya pakai mendengar. Beres kan pak”
“Itulah masalahnya. Semua tidak boleh asal pakai. Ada norma-norma spiritual yang mesti diperhatikan”
“Maksudnya?”
“Dalam ilmu kebatinan setiap indera mempunyai hakekat masing-masing pada setiap masing-masing orang, sesuai profesi dan tanggungjawabnya di muka bumi. Em.. kalau boleh tahu profesi anda apa ya?”
“Saya pejabat legislatif pak”
Si Paranormal tersenyum. Lima detik berikut si Paranormal tertawa geli.
“Kok bapak malah tertawa sih!” bentak Adolf terusik.
“Sebetulnya akhir-akhir ini banyak sekali orang-orang berprofesi seperti anda yang datang pada saya dengan keluhan yang sama. Rupanya penyakit seperti ini sedang populer di kalangan kalian ya”
“Populer?”
“Makanya, pakai telinga dan mata kamu secara benar. Kalau tidak saya tak sanggup membayangkan akibat lanjutannya nanti” lanjut si Paranormal sambil terus tertawa tanpa henti. 
Sementara Adolf tetap diam seribu bahasa. Seperti orang dungu yang tak tahu mau berkata apa. Semakin Adolf bertambah bingung, semakin si Paranormal terbahak keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar