Rabu, 09 Februari 2011

Puisi-Puisi Vick Chenorre


Kita Dan Desember

Ombak dan seribu pena berlarian di halaman
Mengintai kita
Laut dan gereja tenggelam, hanya dalam keinginan
Untuk saling berdekap
Dalam bunyi lonceng tembaga
Yang berdentam di atas menara
Menara itu mendiam
Mengunci angka dua belas di dinding rumahmu
Pada hari itu desember hampir selesai

Sama seperti tahun kemarin dinding itu warna ungu
Dan sekarang mungkin berganti
Saat kau menciumku seperti sepi tahun ini
Lalu kutulis sebuah sajak jauh kedalam lautmu
Di hari minggu yang surut, hari yang rela menyerahkan diri                                                                                kehari lain
Dan engkau menjadi bagian dari pergantian kenangan

Tataplah
Langit kita masih sama seperti yang dulu
Saat engkau membakar akhir desember dengan kembang api
Saat masih perahu dan layang-layang
Kita mainkan di teluk jiwa
Dan riuhnya kita
Adalah lilin yang harus hancur terkepung gulita

Percayalah
Sajak yang menjadi daun adalah aku
Di cabang darahmu, kita tak akan pernah tumbang
Kita tak harus lari, juga tak perlu mengintai cuaca
Sebab menit yang terkejar tak akan berubah
Selalu menjadi waktu dan kata-kata

Memang
Di luar terlalu gelap
Tak cukup menemukan sketsa wajahmu
Yang patah di raut embun
Tapi kekuatan itu ada dalam kelemahan
Pada keadaan kau akan mengerti
Tentang betapa beradunya lonceng di tiap natal
Tapi hari ini
Tak segampang menangkap wajahmu
Yang dulu selalu meniru gerak angin




Warna

Ada satu warna yang kukenal
saat langkah kaki itu menjauh
warna yang hanya dimiliki
angin dan airmata




Kamar Yang Jadi Tugu

Sebab kita bukan terbang pada angan-angan
di kamar ini.
karena darah baru saja terukir dengan indah
di atas pembaringan yang mulai mengering
sejak kata datang, justru mengamuk seperti pisau
membelah hati.
kamar ini hanya sejarah kusam
dan di sinilah tempat luka berunding
dengan waktu : memanggil kegetiran.
padahal lima belas menit lalu
hampir tak ada duri, di sini
karena pelukan yang sederhana baru kita lakonkan bersama
selanjutnya kamar ini tiba-tiba jadi penungguan.
mungkin kematian sementara.

tulang-tulang! jika engkau hargai tangisan
maka tekunlah bertahan
ini bukan sekedar penantian untuk meminang ketenangan
kamar ini masih berbau isakan
jangan menghapusnya, sekalipun aku lupa menghitung tusukan airmata
di kamar ini banyak derai terlepas, banyak canda tawa mengelupas
tapi waktu akan mengulang kedatangan
kau bisikan dera pada sepatah kata dan,
linangan kian terdesak ke angin yang cemas dan,
kita mesti menelan pecahan nyeri.

aku tidak lupa di kamar ini,
banyak cerita yang belum selesai semestinya jadi tugu
untuk mendamaikan rindu
kembali



Di Tikungan

Selamat pergi laras senapan
akhirnya kita berpisah
di tikungan
dekat perigi tempat air duka tumbuh




Kepada Annelis

Annelis, tidak ada tinta yang lebih baik
untuk menulis keperihan ini, selain airmata
engkau bunga yang bertahun-tahun kutanam dekat tungku
di atas perapian yang menyelinap di antara kisah
tergadai pada bara.

apa yang kita pertahankan lagi, letusan-letusan mendekat
mengiang di telinga, membangunkan diammu
yang berpura-pura mekar

betapa seringnya kita mengulang letusan
mendebarkan almanak, bergetar dan mengganti tahun
sebagai sebuah perang, membiarkan kita menangisi
ledakan demi ledakan.

sebutlah annelis
ada berapa fajar yang engkau temui
dan berapa senja yang berdusta pada gelap?
aku selalu di sampingmu, walau tak sesetia bayang

untuk apa genggaman ini, saat engkau sudah tahu
bahwa sangkur-sangkur terbidik ke dadaku
saat tebasan mengintai cinta, hingga aku tak bisa menerjemahkan aksara-aksara bara di matamu

dan pesisir di jiwamu mulai merunduk, dihantam ombak, kau menepi
terdampar bersama pasir, itulah jiwaku (tersobek-sobek) di sisimu

siapa yang berani menggenggam kehancuran, selain aku
mengobarkannya di saat subuh, kecuali engkau, annelis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar