Rabu, 09 Februari 2011

Puisi-Puisi Henrolds Tatengkeng

TAK ADA SAJAK UNTUKMU


Meja kayu yang penuh tuangan rasa
Menjadi ring perkelahian antara pena dan kertas
Jemariku pun gemetar jatuhkan gumpalan tanya
Pertanda apakah itu?
Saat malam indah mengkristal di benak

Oh, malam menjadi gila dalam asbak hitam
Yang diam menunggu usapan air
Dan air itu sudah mengental dalam pena
Kata-kata pun berlarian tanpa arah
Tinggalkan kecut bergelinjang di jidat
Jantung tersentak laju mendayuh
Dada jadi kembang-kempis
Pada rongsokan keindahan malam

Inginku terlantar dalam genangan becek
Semua telah tak berdaya
Walau sunyi malam selepas hujan
Terus dengungkan namamu
Memaksa semua indera menyatukannya
Dalam tatanan agung sebuah bahasa

Mungkin ada yang terlupa ketika hari datang tadi
Hari yang mulai resah oleh rentetan cerita
Sekumpulan kenangan dalam ruang etalase hati
Yang telah ditata apik oleh jalannya waktu
Di sepanjang kesilaman masa
Ketika percintaan itu tak butuh kata-kata
Dan ketika kata-kata menjadi monumen huruf
Yang tak butuh pena dan kertas


 

PAGI DI JENDELA


Kemarin aku masih melihat rupamu
Menaruh jambang mawar di jendela kamar
Kau mandikan pada cahya pagi
Begitulah kau menyayanginya selama waktu
Hingga kemarin

Pagi tadi kau tak muncul
Tapi mawar itu sudah di jendela
Daunnya tampak lemah bergoyang
Di hembusan angin senja,
Ia akan layu

Dengan setumpuk gelisah tanya
Kuhampiri jendela kamarmu
Dan di bawahnya kelopak mawar berserakan,
Apakah ini sebuah pesan
Ragaku tersungkur

Sungguh keindahan telah menutup mataku
Dan membodohiku
Karena aku hanya bisa mengagumimu
Sebagai pembuka pagiku,
Kau telah pergi bersama rasamu




LEMAH


Tubuh ini tampak kelabu pada cermin
Langkah lengah menyeret derita
Pohon kehidupan pohon peneduh
Yang daun sudah berwarna kuning

Tanah ini tak indah lagi
Itulah wangsit yang harus kita lihat
Di mana mata selalu bertumpu
Sejauh cahaya masih ada

Aku jadi dahaga di bumi sendiri
Sedangkan air masih mengalir dari gunung
Dan langit masih turunkan hujan
Tetapi raga semakin sengsara




TERJERUMUS KELAM


Adalah sesosok jiwa
Menghitung titik kelam yang berarak
Dalam kabut musim kemarau
Datang dari masa lalu
Membumbung di atas kelana hati
Yang kian meranggas

Siang dan malam larut di dadanya
Tanpa beri selubung makna
Dari jalanan berbaris kenangan
Andai ada yang datang dari waktu nanti
Memberi iba seutuhnya atau sedikit
Kemudian melangkah ke beberapa waktu lalu
Biar terhitung bersama titik-titik kelam




TRAGEDI YANG PASTI

Pernakah kau berpikir tetap mengenang
Tamparan telapak malam
Yang hinggap tiba-tiba di pipimu
Dan membuat sekujur tubuh lumpuh
Kemudian kuku-kuku gelapnya
Mencabik-cabik dada
Kau tak bisa berteriak memohon pertolongan
Atau minta sedikit saja iba

Hanya mata yang berkaca-kaca
Dan gigi gemeretak menahan pedih,
Itulah bagian keganasan rindu malam
Yang merenggut kuat semua jiwa bertuhan
Dan bukankah Dia telah mengingatkan
Lewat sajak Sulaeman
Tetapi manusia adalah darah yang lemah
Dalam aliran nasihat dan peringatan
Keinginan mereka selalu tinggi melayang
Bahkan membuat dirinya sebagai pusat tata surya

Pernakah kau berpikir dan mengartikan
Kalau udara ini akan tiada dalam rasa dan ingin
Ia hanya satu, tetapi yang seperti kau begitu banyak
Merangkak, berjalan dan berlari
Bersama keangkuhan usia
Tanpa menyadari sisanya hanya sedikit
Dan itu dalam genggaman Khalik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar