Sabtu, 15 Juni 2013

Mencari Makna Seni Pertunjukan Indonesia

Salah Satu Bentuk Performance Art
Oleh: Jakob Sumardjo
1.    Pengantar
Indonesia kaya dengan berbagai jenis seni pertunjukan pra-modern. Berbagai seni pertunjukan itu berwujud cerita tutur, music, teater, manusia, teater-boneka, tari-tarian, dan gabungan dari semua itu. Bangsa Indonesia sebelum memasuki dunia modern tidak mengenal pembagian jenis seni pertunjukan yang dikenal manusia modern, yakni memisahkan antara seni musik dengan seni teater, seni tari, seni sastra lisan. Dalam seni pertunjukan pra-modern terjadi percampuran antara sastra, music, tari, lakon, bahkan seni rupanya.

Seni pertunjukan tradisi etnik pra-modern ini sering disebut sebagai seni tradisional, untuk membedakannya dengan seni modern yang berkembang di kota-kota modern Indonesia, yang kemudian masuk ke masyarakat tradisional di perdesaan juga. Bangsa Indonesia yang modern berpikir sebagai manusia modern pula. Kehidupan modern yang antroposentris, sekuler, ilmiah, teknologis, materialistik, kadang juga hedonistik, memperlakukan seni pertunjukan tradisional sesuai dengan kebutuhan modernnya. Seni pertunjukan tradisional tak lebih sebagai hiburan yang kadang-kadang memanfaatkan pula kandungan pesan-pesannya yang etis maupun filosofis.
Seni pertunjukan tradisional sudah ada sebelum bangsa Indonesia hidup secara modern. Kita hanya menerima dan meneruskan warisan seni pertunjukan itu dari orang tua kita, dan orang tua kita dari orang tuanya, begitu seterusnya sampai kita tidak mengetahui lagi kapan tepatnya berbagai seni pertunjukan itu diciptakan pertama kalinya jauh di masa lampau. Kadang memang ada gambaran samar-samar dari dokumen-dokumen tertulis tua, seperti prasasti raja-raja zaman Hindu atau berbagai karya sastra tertulis zaman itu yang kebetulan menyebutkan jenis-jenis seni pertunjukan tertentu.

Makna warisan seni pertunjukan tradisional itu kita tafsirkan berdasarkan pengetahuan modern kita. Padahal berbagai jenis seni pertunjukan tradisional tersebut diciptakan berdasarkan cara berpikir dan cara hidup masyarakatnya yang pra-modern. Untuk memahami atau mendekati makna terdekat berbagai seni pertunjukan tersebut mau tak mau kita harus mengembalikan seni pertunjukan itu ke budaya pra-modernnya di Indonesia.
Perbedaan penting budaya pra-modern Indonesia dengan budaya modern Indonesia adalah bahwa budaya nenek moyang itu lebih bersifat religious-magis, sedang budaya modern telah lama menolak hal-hal metafisik semacam itu, dan hidup dari budaya sains dan teknologi berdasarkan kemampuan pikiran manusia sendiri.

Seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah di Indonesia tak dapat dipisahkan dari masyarakatnya yang religious-primordial yang mempercayai hadirnya daya-daya transenden ketuhanan dalam setiap tindakan kolektifnya, termasuk dalam seni pertunjukannya. Itulah sebabnya banyak dijumpai seni pertunjukan pra-modern Indonesia yang menghadirkan peristiwa trance (kerasukan) pada para senimannya. Setiap seni pertunjukan juga sering didahului dengan penyediaan sesajen dan pengucapan mantera-mantera. Sisa-sisa religiusitas seni pertunjukan tradisional dalam masyarakat modern adalah bahwa setiap seni pertunjukan hanya diselenggarakan dalam hajatan tertentu, seperti perkawinan, khitanan, kelahiran, syukuran, tolak bala dan lain-lain.

Tulisan ini mencoba meletakkan seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah di Indonesia yang berhasil terwariskan hingga saat ini ke wilayah cara berpikir, cara hidup, budaya yang kita duga menghasilkannya. Metodenya tak lain adalah membaca, menafsirkan, symbol-simbol yang terbawa dalam seni pertunjukan itu sendiri, sehingga tercapai gambaran structural budaya di belakangnya.

2.    Tempat Pertunjukan
Dalam masyarakat lama Indonesia tidak dikenal adanya bangunan atau gedung pertunjukan yang khusus dibangun untuk keperluan itu. Pertunjukan biasanya dilakukan di bangunan rumah yang mengundang pertunjukan itu untuk hajatan tertentu. Kalau di dalam rumah biasanya dipilih bagian teras atau kadang malah di bagian tengah rumah yang biasa buat kenduri. Kalau tidak di dalam rumah, juga dapat diselenggarakan di halaman rumah depan. Di kalangan raja dan bangsawan (Jawa) dapat dilakukan di teras rumah di belakang pendapa, antara tempat tinggal bangsawan dan pendapa tempat menerima orang luar. Di istana-istana Jawa zaman Islam pertunjukan justru dilakukan di balai atau halaman balai yang dinilai sakral.

Tempat pertunjukan di rumah ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan itu amat dihormati, jadi bukan tontonan sekuler yang sembarang waktu dan dimana pun boleh dilakukan. Pertunjukan cenderung dilakukan di ruang rumah yang amat dihormati bahkan disakralkan.

Kalau tidak di rumah, pertunjukan juga dapat dilakukan dimana saja di perkampungan, misalnya di lapangan, di sawah, di kebun, di mata air. Biasanya pertunjukan ini untuk kepentingan hajatan bersama, seperti tolak bala, syukuran kampong, perayaan bersama. Pertunjukan modern mengikuti tradisi renaisans Eropa dengan membangun gedung khusus pertunjukan dengan tempat pertunjukan yang ditinggikan berupa panggung. Panggung itu hanya dapat ditonton dari satu jurusan depannya saja. Di bagian belakang panggung dapat dipasang “layar” yang menjelaskan dimana peristiwa pertunjukan terjadi.

3.    Penonton
Penonton pertunjukan tradisional merupakan undangan yang punya hajat atau mereka yang tidak diundang. Penonton undangan disediakan tempat khusus, sedang yang tidak diundang bebas memilih tempat diluar tempat undangan khusus. Dalam pertunjukan modern dalam gedung pertunjukan dipungut biaya masuk.

Jarak antara penonton dengan pertunjukan dapat dikatakan tidak berjarak, berbeda dengan pertunjukan modern yang tegas menciptakan jarak antara pertunjukan dan penontonnya. Dalam pertunjukan tradisional kebersamaan tercipta, seperti layaknya dalam suatu ritual.

Bahwa pertunjukan tradisional dahulunya bagian dari ritual antara lain terdapat larangan bagi penonton meninggalkan tempat pertunjukan sebelum selesai. Ada sanksi metafisik bagi penonton yang meninggalkan pertunjukan sebelum selesai.

Fungsi pertunjukan tradisional memang memberikan kesenangan hiburan estetis seperti pertunjukan modern. Namun masih ada fungsi religious yang menempatkan pertunjukan bagian dari ritual keluarga atau ritual kampong. Pertunjukan tradisional lebih banyak menghadirkan kembali cerita-cerita mitos yang mengandung kepercayaan religious.

Jenis kelamin penonton kadang juga terjadi untuk pertunjukan tertentu. Tari topeng Panji zaman Majapahit hanya ditonton kaum perempuan, sedang penarinya raja sendiri. Pertunjukan topeng semacam itu masih terdapat pula di daerah Cirebon. Sebaliknya dalam tari ronggeng jenis penontonnya lelaki, yang ikut serta menari.

4.    Seniman Pelaku Pertunjukan
Dalam pertunjukan seni tradisional selalu ada pawangnya. Dialah pemimpin pertunjukan yang bertanggung jawab terhadap keselamatan anak buahnya. Pawing pertunjukan bukan hanya seniman tetapi juga pelaku spiritual. Dalam tari kuda lumping dan sintren peranan pemimpin pertunjukan membuat pemain kesurupan dan menyadarkan kembali dari kesurupan.

Juru Pantun di Jawa Barat, dalang wayang kulit di Jawa Tengah, bissu di Sulawesi Selatan, adalah pawing itu sendiri. Selain sebagai seniman, mereka juga penyembuh, perantara ke hal-hal metafisik.

Jenis kelamin seniman tradisional juga mengenal pembedaan-pembedaan. Dalam pertunjukan kuda lumping di Jawa Tengah, misalnya, pemainnya harus jejaka yang belum menikah. Dalam sintren di Jawa Barat dan seblang di Jawa Timur, pemain harus anak gadis yang belum menstruasi. Tarian jenis ronggeng ini kadang juga harus seorang perempuan yang sudah menopause.

Dalam topeng Cirebon pemain boleh siapa saja, yakni lelaki atau perempuan, muda atau tua.

Dalam berbagai seni pertunjukan yang masih berfungsi sebagai bagian dari ritual hajatan, para pelaku seni kadang menjalani pantangan tertentu, berpuasa, semedi, atau ziarah kubur.

Seniman pelaku seni pertunjukan tradisional menjalankan peran yang berbeda dengan seniman modern. Seniman modern lebih menekankan permainan atau play yang oleh pelukis Pablo Picasso dikatakan bahwa semua seniman itu pendusta tetapi dusta untuk mengungkapkan kebenaran. Pertunjukan seni modern bersifat pura-pura atau seolah-olah, yaitu bermain, sedangkan seniman tradisional Indonesia berkesenian adalah amat serius yang menyangkut keselamatan pribadinya bahkan keselamatan masyarakatnya.

Dalam seni pertunjukan yang berlangsung dalam trance, seniman bertaruh dengan keselamatan dirinya kalau tidak sungguh-sungguh, misalnya bermain sambil mengunyah kaca, menusukkan keris ke dadanya, mengiris lidahnya dengan parang, atau jenis spektakel yang lain. Seni pertunjukan memang suatu permainan tetapi tidak boleh main-main karena berkaitan dengan kehadiran daya-daya metafisik, daya-daya gaib.

5.    Waktu Pertunjukan
Seni pertunjukan tradisional lebih banyak dilakukan pada malam hari dari pada siang hari, mirip seni pertunjukan modern. Namun alasannya mungkin berbeda. Pada seni modern, malam hari adalah waktu istirahat dari kerja. Tetapi seni tradisional lebih menekankan alasan yang bersifat metafisik. Kehadiran daya-daya metafisik dipercayai lebih banyak terjadi malam hari, seperti hadirnya hantu-hantu dalam kepercayaan rakyat.

Pertunjukan siang hari juga dilakukan terutama yang bersifat seni pawai atau arak-arakan keliling desa. Di Jawa Barat seni pertunjukan yang ramai-ramai berkeliling ini, seperti sisingaan dan kuda renggong dilakukan dalam hajatan khitanan. Begitu pula arak-arakan tari seblang di Banyuwangi berhubungan dengan hajatan bersih desa. Di Bali tarian Sang Hyang Dedari juga berkeliling kampong.

Sepengetahuan saya belum ada seni pertunjukan yang dilakukan pada pergantian hari, yakni subuh dan senja.

6.    Sponsor Pertunjukan
Hampir semua pertunjukan tradisional memiliki sponsor tunggal, yakni orang yang punya hajatan. Seluruh pembiayaan seni pertunjukan dan ritual hajatan, yakni ritual peralihan (rites of passages), ditanggung sepenuhnya oleh yang punya hajat. Begitu besarnya beaya yang dikeluarkan sehingga peristiwa hajatan dengan seni pertunjukan disebut sebagai “sedang punya kerja”. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa seriusnya peristiwa seni pertunjukan tradisional. Seni adalah kerja, bukan main-main tetapi sungguh-sungguh.
Dimasyarakat Baduy Jawa Barat, permainan anak-anak (kaulinan barudak) sama sekali bukan main-main tetapi disebut sebagai pagawean barudak atau kerja anak-anak.

Seni pertunjukan ntradisional masih hidup sampai sekarang sepanjang seni ini masih berfungsi tradisional yakni sebagai bagian dari upacara hajatan. Para senimannya juga masih dapat hidup dari profesinya karena setiap pertunjukannya “diborong kontan” oleh yang punya hajat yang mengundangnya.

Di masa transisi masyarakat tradisional ke modern, terutama di pulau Jawa, peristiwa hajatan sering diisi oleh seni modern yang sekuler, misalnya penyani dangdut organ tunggal, karena beaya jauh lebih murah dari pada memanggil pertunjukan wayang. Seni pertunjukan modern difungsikan secara tradisional.

Pada masa larisnya pertunjukan layar tancap, di desa-desa Jawa Barat hajatan sering memanggil layar tancap untuk memutar film-film yang ada kaitannya dengan maksud hajatan, misalnya film silat Jaka Sembung untuk khitanan, atau Pangantin Remaja untuk hajatan perkawinan.

7.    Sesajen
Dalam seni pertunjukan tradisional senantiasa disiapkan seperangkat sesajian berupa benda-benda alamiah (bunga, buah, daun, ayam, dsb.) bahkan benda-benda modern misalnya rokok, tembakau, cerutu. Juga ada kalanya air putih, air the, air kopi. Jenis perangkat sesajian ini amat banyak variannya, bahkan untuk satu daerah.

Penelitian mengenai jenis sesajian ini sepanjang pengetahuan saya belum pernah dilakukan orang. Jenis sesajian apa untuk keperluan hajatan mana itulah yang perlu diketahui hubungannya. Sesajian seni pertunjukan di keraton-keraton Jawa berbeda dengan di kalangan rakyat perdesaan. Yang jelas senantiasa ada sesajian pembakaran kemenyan.

Sesajian, meskipun berupa penganan atak makanan, buah-buahan, tembakau atau rokok, bukan dimaksudkan sebagai makanan roh-roh metafisik yang dihadirkan dalam pertunjukan, tetapi lebih berupa simbol-simbol kosmik. Simbol benda-benda alamiah dan benda-benda budaya di dalamnya dapat dibaca sebagai pasangan “lelaki kosmik” dan “perempuan kosmik”, yakni simbol-simbol makrokosmos alam raya ini yang disandingkan dalam harmoni di dunia manusia (mikrokosmos). Bersandingnya mikrokosmos dan makrokosmos atau mikrokosmos itu sendiri adalah makrokosmos dapat menghadirkan yang bersifat metakosmos.

Sesajian berupa penganan dan makanan, setelah selesai pertunjukan, dapat dimakan oleh manusia. Tetapi selama pertunjukan sesajian tidak boleh diubah atauy diganggu siapa pun karena dapat berakibat buruk bagi keselamatan ritual pertunjukan.

Pembakaran kemenyan merupakan symbol axis mundi atau tiang penghubung antara dunia fisikal manusia dengan alam metafisik di Dunia Atas. Symbol axis mundi semacam ini juga ditemukan dalam bentuk nasi tumpeng, daun hanjuang atau beringin yang berasal dari pohon-pohon yang menjulang ke atas tanpa dahan.

8.    Mantera
Mantera adalah bahasa magis yang mengandung arti dan sekaligus juga tak dikenal artinya. Itulah bahasa komunikasi pawing dengan alam metafisika. Mantera juga sejenis axis mundi, penghubung dunia manusia melalui penyebutan alam semesta untuk sampai ke dunia metafisika. Dengan demikian fungsinya sama dengan pembakaran kemenyan.

Dalam mantera terdapat sejarah system kepercayaan sepanjang yang dikenal di masa kini. Dalam mantera kadang memuat system kepercayaan primordial, Hindu-Budha, dan malahan Islam, dalam penyebutan nama-nama alam metafisika atau bahkan bahasa yang hidup dalam system kepercayaan itu.

Mantera diucapkan, dibisikkan, atau bahkan dinyanyikan sebelum pertunjukan dimulai, oleh pawang pertunjukan, baik seniman pelakunya sendiri maupun pemimpin pertunjukan (pawang), atau kadang oleh juru musik pertunjukan. Dengan demikian mantera dapat berupa kata-kata lisan atau kata-kata diiringi music dan dinyanyikan.

Dalam pertunjukan cerita tutur Sunda, yakni pantun Sunda, mantera ini disebut rajah. Ada rajah pembuka dan rajah penutup. Rajah pantun ini ada yang pendek tetapi juga ada yang sangat panjang sampai meliputi sepuluh atau dua puluh halaman kalau ditulis dalam ketikan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengucapan mantera atau doa-doa baku untuk memulai seni pertunjukan.

Menghadirkan cerita dalam seni pertunjukan dipercayai sebagai menghadirkan tokoh-tokoh mitologi masyarakat setempat dalam tempat pertunjukan. Selama membeberkan mitos dalam pertunjukan, tempat pertunjukan menjadi ruang paradox, yakni ruang metafisik sekaligus ruang nyata manusia. Itulah tempat dan waktu sacral pertunjukan. Itulah sebabnya penonton tidak boleh meninggalkan pertunjukan sebelum selesai sempurna, yakni sebelum tokoh-tokoh mitos itu “kembali” ke alam metafisiknya.

Dalam alam pikiran modern kita, hal-hal demikian tentu sudah tidak dipercayai lagi. Seni pertunjukan adalah seni pertunjukan yang berefek memberikan pengalaman yang menyenangkan. Yang mempercayainya bersifat tahayul. Namun bentuk dan struktur seni pertunjukan itu sendiri masih membawa substansi alam pikiran tahayul di masa lampau, meskipun masyarakat pemiliknya sudah tidak hidup lagi dalam alam pikiran tua tersebut.

Dalam cerita pantun Lutung Kasarung terdapat rajah pembuka seperti dibawah ini dalam terjemahan sastrawan Sunda Ajip Rosidi :

Mengawan dupa ke manggung
Ke manggung minta pelindung
Pada dewata minta suka
Pada pohaci minta suci
Aku akan belajar ngidung
Menembang cerita pantun
Menggugah cerita wayang
Menamsilkan menyusur laku
Menyusur laku dahulu kala
Mengusut perbuatan lama
Tujuh lorong berjajar
Kedelapan yang sedang ditempuh
Kalau-kalau salah mengucapkan
Kalau-kalau melanggar dasar
Pantanglah salah mengucapkan
Pantanglah melanggar dasar
Sebab jelas susunan laku
Terbentang jalan cerita
Dari mana asal perundingan?
Dari mana bakal cerita?
Tetaplah dari kahyangan
Ditampung dengan cupu manik
Cupu manik astagina
Ditempatkan atas saratangan
Ditutupi dengan mandepun
Disimpan di jalan raya
Dibuka oleh orang lalu
Oleh yang tahu wataknya
Oleh yang tahu timbangan
Oleh orang aktif kreatif
Waktu dibuka ramai bernyanyi
Yang minta dikisahkan
Nah
Simpan di handeuleum rimbun
Simpan di hanjuang rinda
Peranti menyimpan dan mengambilnya lagi

Beberapa  baris puisi yang dinyanyikan dengan suara dada sambil diiringi bunyi kecapi ini mengandung misteri, seperti “tujuh lorong berjajar”, “cupumanik astagina” yang dialami sapu tangan dan ditutupi mandepun, “disimpan di pohon handeuleum rindang”, yang mengandung simbol-simbol religi yang harus dipecahkan.

Rajah pantun Bogor agak lain :
Pun
Sapun
Ka ruhur ka sang rumuhung
Ka Nu Muhung di Mandala Agung
Ahuung
Ka Guru sakabeh Guru
Ka Raja sakabeh Raja
Nya ka Inyaaa.
Masih terlihat unsur primordial (Sang Rumuhun, nenek moyang) dan Hindu (Guru atau Siwa Mahaguru), juga “Ahung” dari AOM Hindu.
Sedangkan pantun di daerah Subang menunjukkan unsur-unsur Islam:
Astagpirulloh kal adim
Meunang opatpuluh kali
maca astagpirulloh kal adim
Ngecapkeun sahadat dua
Sahadat kalimah kalih
dst.

Isi rajah pada umumnya meminta toloh dan meminta ampun kepada mereka yang sedang bertapa di Dunia Atas (Manggung) untuk dibangunkan dan dimohon turun ke dunia manusia agar dapat dikisahkan riwayat mereka di masa lampau agar dapat menjadi pegangan hidup bagi anak cucu mereka. Juru pantun mohon ampun kalau ada salah ucap dan salah cerita, meskipun sudah mengikuti alur yang sudah ditetapkan.

Rajah pemunah atau penghabisan diucapkan oleh juru pantun menjelang usai pertunjukan menuturkan pantun, yang isinya juga mohon ampun apabila ada kesalahan ucap dan cerita. Para tokoh mitos itu dipulangkan kembali ke puncak pohon handeuleum atau hanjuang tempat mereka bertapa dalam ketenangan abadi.

Kalau di Jawa Barat kaya dengan seni pertunjukan pantun, yang belum sepenuhnya dihimpun, di Jawa Tengah dan Jawa Timur kaya dengan seni pertunjukan wayang kulit. Mantra dalam pertunjukan wayang kulit terdapat dalam suluk yang dilagukan oleh dalang di berbagai kesempatan pertunjukan.

Mantra sebelum pertunjukan terdapat dalam rangkaian lagu-lagu Tatalu. Lagu-lagu tatalu dibunyikan dalam rangkaian enam lagu dengan irama yang semakin cepat dan cepat sekali. Umumnya tatalu hanya difahami untuk “mengundang penonton wayang” yang akan segera dimulai Enam lagu tatalu yang dibawakan oleh seperangkat gamelan wayang, terdiri dari :
1.    Cucur Bawuk – Pare Anom
2.    Ladrang Srikaton
3.    Ketawang Sukmo Ilang
4.    Ayak-ayakan Manyuro
5.    Srepeg Manyuro
6.    Sampak Manyuro

Dari judul lagu-lagunya dapat ditafsirkan maksud mantranya. Cucur bawuk adalah kue sejenis serabi yang dihubungkan dengan “bawuk” kelamin anak perempuan. Pare Anom tak lain adalah batang padi yang masih muda yang biasanya masih keras dan berdiri tegak, itulah simbol kelamin lelaki. Lagu pertama ini menggambarkan keberadaan ini hanya terdiri dari pasangan yang saling meng-ada-kan dan saling melengkapi meskipun saling berbeda secara diametral. “Dunia ini isinya hanya dua perkara saja”, begitu ungkapan Jawa. Itulah pasangan yang substansinya saling berbalikan.

Ladrang Srikaton dapat berarti yang segala Nampak ini dan berubah ini adalah ladrang atau biasa-biasa saja. Inilah hidup duniawi.

Ketawang Sukmo Ilang adalah “senja lenyapnya sukma ini”. Masa senja setiap manusia yang mendekati kematian. Setiap manusia akan mati. Ayak-ayakan Manyuro adalah “tapisanyang menyaring siapa yang akan mendekati waktunya”. Setiap manusia sudah ada waktunya sendiri kapan mendekati ajalnya.

Srepeg Manyuro berarti “waktunya sudah mendesak sekali”. Sudah taka da waktu lagi untuk menjelang ajal.
Sampak Manyuro berarti sudah menyatu padu dengan Yang Tiada. Ada menjadi Tidak Ada untuk menyatu dengan Yang Maha Ada. Manunggaling kawula dan Gusti, menyatunya hamba dengan Tuhannya.

Tatalu dengan jelas sekali menggambarkan manusia dunia yang mendekat untuk menyatu dengan Tuhan, menjadi satu dengan Tuhan. Mantra ini mirip rajah pantun yang “menurun”-kan pahlawan-pahlawan mitos Sunda dating ke dunia manusia, sedang mantra wayang kulit justru sebaliknya, yakni naik menyatu dengan tokoh-tokoh wayang yang akan hadir dalam pertunjukan.
Setelah tatalu barulah pertunjukan wayang dimulai.

9.    Konteks Budaya
Seni pertunjukan tradisional dapat mendatangkan daya-daya transenden-magis hanya terjadi di lingkungan masyarakat yang masih kuat tradisi religi primordialnya (adat). Di lingkungan masyarakat yang sudah berpikiran modern atau masyarakat yang kuat beragama samawi, daya-daya magis-transenden ini sudah tidak dipercayai lagi.

Pertunjukan seni pantun dan wayang masih dipercayai mengandung daya-daya magi yang menyelamatkan terlihat jelas pada hajatan ruwatan. Di luar itu pertunjukan-pertunjukan ini tetap hanya memberikan hiburan belaka atau yang memberikan ajaran-ajaran kesusilaan masyarakatnya, mana perbuatan baik dan tidak baik.

Namun dari wujud pertunjukan itu sendiri yang masih menyediakan sesajen dan syarat-syarat lain yang sudah dibicarakan diatas mengisyaratkan bahwa pelaku seni pertunjukan tidak berani mengubah syarat-syarat yang sudah ada. Ketidak beranian melanggar itu masih menunjukkan sisa-sisa kepercayaan lama yang dapat mengakibatkan musibah pada pelakunya.

Seni pertunjukan tradisional Indonesia pada dasarnya terdiri dari berbagai lapisan budaya, yakni primordial suku, hindu-Budha-Tantra, Islam, dan modern. Budaya luar yang masuk bersama agama baru ternyata tidak mampu menggeser filosofi seni primordialnya. Perubahan-perubahan hanya terjadi pada unsur-unsur bentuknya, atau kadang filosofi dasarnya sepanjang memperkuat filosofi awalnya yang mistik, kadang magis. Religi primordial suku-suku di Indonesia memandang adanya kesatuan kosmik antara alam ketuhanan, alam semesta, dan alam manusia. Keselamatan manusia, disamping atas usaha sendiri, juga tergantung dari daya-daya transenden ketuhanannya. Yang transenden itu hadir bersama yang imanen sehingga dapat menolong apa yang dibutuhkan manusia. Hanya kehadirannya memilih yang “tidak melanggar dasar” seperti diucapkan dalam rajah pantun Sunda. Itulah pola-pola hubungan yang membentuk struktur bangunan wujudnya, termasuk wujud seni pertunjukan.

Membangun Negara, kampong, rumah, kesenian, agar selamat dan sejahtera mengikuti pola rasional yang sudah diterima bersama. Dasar pola itu adalah dualism keberadaan. Bagaimana menghadapi dualitas dunia ini, dalam kategori dasarnya maskulinitas dan feminitas, adalah “dasar yang tidak boleh dilanggar” tadi. Pengaturan lambat-cepat, lurus-lengkung, diam-bergerak, kekiri-kekanan, maju-mundur, tunggal-pasangan, datar-tegak, semua itu memiliki pola pengaturannya sendiri untuk tiap budaya. Pola-pola inilah yang saling memasuki antar budaya di Indonesia.

Konsep dasarnya adalah dwitunggal, satu tetapi dua, dua tetapi satu, baik tunggal maupun ganda. Fenomenanya memang dualitas Ada ini, tetapi agar mengandung transenden maka perlu disatukan kembali. Penyatuan atau pengesaan kembali ini juga paradoksal, yakni kesatuan dalam pemisahan dan kesatuan dalam penggabungan. Kesatuan dalam pemisahan terdapat dalam pola dua yang mempertahankan ketegangan dualitas tunggal. Juga pola empat mempertahankan pemisahan dualitas hanya disatukan kembali. Pengesaan secara harmoni atau penggabungan dualitas terdapat dalam pola tiga, yakni dualitas dapat disatukan kembali melalui entitas ketiga yang mengandung dua entitas yang saling berseberangan. Pola lima atau Sembilan adalah penggabungan dualitas-dualitas ganda yang melebur menjadi entitas tunggal yang paradoksal. Yang esa itu banyak dan banyak itu esa. Harmoni dalam keselarasan total.

Pola-pola demikian itu tercermin dalam bentuk seni pertunjukannya, baik dalam iringan musiknya, gerak tarinya, pola latai tari, ceritanya, puisinya, warna kostumnya, dan unsur-unsur lain seni pertunjukan tradisional.***(tulisan diambil dari http://matramantra.wordpress.com dan dipublikasikan di sini hanya untuk kepentingan pengembangan wawasan seni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar