1. Pengantar
Indonesia
kaya dengan berbagai jenis seni pertunjukan pra-modern. Berbagai seni
pertunjukan itu berwujud cerita tutur, music, teater, manusia, teater-boneka,
tari-tarian, dan gabungan dari semua itu. Bangsa Indonesia sebelum memasuki
dunia modern tidak mengenal pembagian jenis seni pertunjukan yang dikenal
manusia modern, yakni memisahkan antara seni musik dengan seni teater, seni
tari, seni sastra lisan. Dalam seni pertunjukan pra-modern terjadi percampuran
antara sastra, music, tari, lakon, bahkan seni rupanya.
Seni
pertunjukan tradisi etnik pra-modern ini sering disebut sebagai seni
tradisional, untuk membedakannya dengan seni modern yang berkembang di
kota-kota modern Indonesia, yang kemudian masuk ke masyarakat tradisional di
perdesaan juga. Bangsa Indonesia yang modern berpikir sebagai manusia modern
pula. Kehidupan modern yang antroposentris, sekuler, ilmiah, teknologis,
materialistik, kadang juga hedonistik, memperlakukan seni pertunjukan tradisional
sesuai dengan kebutuhan modernnya. Seni pertunjukan tradisional tak lebih
sebagai hiburan yang kadang-kadang memanfaatkan pula kandungan pesan-pesannya
yang etis maupun filosofis.
Seni pertunjukan tradisional sudah ada sebelum bangsa Indonesia hidup secara modern. Kita hanya menerima dan meneruskan warisan seni pertunjukan itu dari orang tua kita, dan orang tua kita dari orang tuanya, begitu seterusnya sampai kita tidak mengetahui lagi kapan tepatnya berbagai seni pertunjukan itu diciptakan pertama kalinya jauh di masa lampau. Kadang memang ada gambaran samar-samar dari dokumen-dokumen tertulis tua, seperti prasasti raja-raja zaman Hindu atau berbagai karya sastra tertulis zaman itu yang kebetulan menyebutkan jenis-jenis seni pertunjukan tertentu.
Seni pertunjukan tradisional sudah ada sebelum bangsa Indonesia hidup secara modern. Kita hanya menerima dan meneruskan warisan seni pertunjukan itu dari orang tua kita, dan orang tua kita dari orang tuanya, begitu seterusnya sampai kita tidak mengetahui lagi kapan tepatnya berbagai seni pertunjukan itu diciptakan pertama kalinya jauh di masa lampau. Kadang memang ada gambaran samar-samar dari dokumen-dokumen tertulis tua, seperti prasasti raja-raja zaman Hindu atau berbagai karya sastra tertulis zaman itu yang kebetulan menyebutkan jenis-jenis seni pertunjukan tertentu.
Makna
warisan seni pertunjukan tradisional itu kita tafsirkan berdasarkan pengetahuan
modern kita. Padahal berbagai jenis seni pertunjukan tradisional tersebut
diciptakan berdasarkan cara berpikir dan cara hidup masyarakatnya yang
pra-modern. Untuk memahami atau mendekati makna terdekat berbagai seni
pertunjukan tersebut mau tak mau kita harus mengembalikan seni pertunjukan itu
ke budaya pra-modernnya di Indonesia.
Perbedaan
penting budaya pra-modern Indonesia dengan budaya modern Indonesia adalah bahwa
budaya nenek moyang itu lebih bersifat religious-magis, sedang budaya modern
telah lama menolak hal-hal metafisik semacam itu, dan hidup dari budaya sains
dan teknologi berdasarkan kemampuan pikiran manusia sendiri.
Seni
pertunjukan tradisional di berbagai daerah di Indonesia tak dapat dipisahkan
dari masyarakatnya yang religious-primordial yang mempercayai hadirnya
daya-daya transenden ketuhanan dalam setiap tindakan kolektifnya, termasuk
dalam seni pertunjukannya. Itulah sebabnya banyak dijumpai seni pertunjukan pra-modern
Indonesia yang menghadirkan peristiwa trance (kerasukan) pada para senimannya.
Setiap seni pertunjukan juga sering didahului dengan penyediaan sesajen dan
pengucapan mantera-mantera. Sisa-sisa religiusitas seni pertunjukan tradisional
dalam masyarakat modern adalah bahwa setiap seni pertunjukan hanya
diselenggarakan dalam hajatan tertentu, seperti perkawinan, khitanan,
kelahiran, syukuran, tolak bala dan lain-lain.
Tulisan
ini mencoba meletakkan seni pertunjukan tradisional di berbagai daerah di Indonesia
yang berhasil terwariskan hingga saat ini ke wilayah cara berpikir, cara hidup,
budaya yang kita duga menghasilkannya. Metodenya tak lain adalah membaca,
menafsirkan, symbol-simbol yang terbawa dalam seni pertunjukan itu sendiri,
sehingga tercapai gambaran structural budaya di belakangnya.
2. Tempat Pertunjukan
Dalam
masyarakat lama Indonesia tidak dikenal adanya bangunan atau gedung pertunjukan
yang khusus dibangun untuk keperluan itu. Pertunjukan biasanya dilakukan di
bangunan rumah yang mengundang pertunjukan itu untuk hajatan tertentu. Kalau di
dalam rumah biasanya dipilih bagian teras atau kadang malah di bagian tengah
rumah yang biasa buat kenduri. Kalau tidak di dalam rumah, juga dapat
diselenggarakan di halaman rumah depan. Di kalangan raja dan bangsawan (Jawa)
dapat dilakukan di teras rumah di belakang pendapa, antara tempat tinggal
bangsawan dan pendapa tempat menerima orang luar. Di istana-istana Jawa zaman
Islam pertunjukan justru dilakukan di balai atau halaman balai yang dinilai
sakral.
Tempat
pertunjukan di rumah ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan itu amat dihormati,
jadi bukan tontonan sekuler yang sembarang waktu dan dimana pun boleh
dilakukan. Pertunjukan cenderung dilakukan di ruang rumah yang amat dihormati
bahkan disakralkan.
Kalau
tidak di rumah, pertunjukan juga dapat dilakukan dimana saja di perkampungan,
misalnya di lapangan, di sawah, di kebun, di mata air. Biasanya pertunjukan ini
untuk kepentingan hajatan bersama, seperti tolak bala, syukuran kampong,
perayaan bersama. Pertunjukan modern mengikuti tradisi renaisans Eropa dengan
membangun gedung khusus pertunjukan dengan tempat pertunjukan yang ditinggikan
berupa panggung. Panggung itu hanya dapat ditonton dari satu jurusan depannya
saja. Di bagian belakang panggung dapat dipasang “layar” yang menjelaskan
dimana peristiwa pertunjukan terjadi.
3. Penonton
Penonton
pertunjukan tradisional merupakan undangan yang punya hajat atau mereka yang
tidak diundang. Penonton undangan disediakan tempat khusus, sedang yang tidak
diundang bebas memilih tempat diluar tempat undangan khusus. Dalam pertunjukan
modern dalam gedung pertunjukan dipungut biaya masuk.
Jarak
antara penonton dengan pertunjukan dapat dikatakan tidak berjarak, berbeda
dengan pertunjukan modern yang tegas menciptakan jarak antara pertunjukan dan
penontonnya. Dalam pertunjukan tradisional kebersamaan tercipta, seperti
layaknya dalam suatu ritual.
Bahwa
pertunjukan tradisional dahulunya bagian dari ritual antara lain terdapat
larangan bagi penonton meninggalkan tempat pertunjukan sebelum selesai. Ada
sanksi metafisik bagi penonton yang meninggalkan pertunjukan sebelum selesai.
Fungsi
pertunjukan tradisional memang memberikan kesenangan hiburan estetis seperti
pertunjukan modern. Namun masih ada fungsi religious yang menempatkan
pertunjukan bagian dari ritual keluarga atau ritual kampong. Pertunjukan
tradisional lebih banyak menghadirkan kembali cerita-cerita mitos yang
mengandung kepercayaan religious.
Jenis
kelamin penonton kadang juga terjadi untuk pertunjukan tertentu. Tari topeng
Panji zaman Majapahit hanya ditonton kaum perempuan, sedang penarinya raja
sendiri. Pertunjukan topeng semacam itu masih terdapat pula di daerah Cirebon.
Sebaliknya dalam tari ronggeng jenis penontonnya lelaki, yang ikut serta
menari.
4. Seniman Pelaku Pertunjukan
Dalam
pertunjukan seni tradisional selalu ada pawangnya. Dialah pemimpin pertunjukan yang
bertanggung jawab terhadap keselamatan anak buahnya. Pawing pertunjukan bukan
hanya seniman tetapi juga pelaku spiritual. Dalam tari kuda lumping dan sintren
peranan pemimpin pertunjukan membuat pemain kesurupan dan menyadarkan kembali
dari kesurupan.
Juru
Pantun di Jawa Barat, dalang wayang kulit di Jawa Tengah, bissu di Sulawesi
Selatan, adalah pawing itu sendiri. Selain sebagai seniman, mereka juga
penyembuh, perantara ke hal-hal metafisik.
Jenis
kelamin seniman tradisional juga mengenal pembedaan-pembedaan. Dalam
pertunjukan kuda lumping di Jawa Tengah, misalnya, pemainnya harus jejaka yang
belum menikah. Dalam sintren di Jawa Barat dan seblang di Jawa Timur, pemain
harus anak gadis yang belum menstruasi. Tarian jenis ronggeng ini kadang juga
harus seorang perempuan yang sudah menopause.
Dalam
topeng Cirebon pemain boleh siapa saja, yakni lelaki atau perempuan, muda atau
tua.
Dalam
berbagai seni pertunjukan yang masih berfungsi sebagai bagian dari ritual
hajatan, para pelaku seni kadang menjalani pantangan tertentu, berpuasa,
semedi, atau ziarah kubur.
Seniman
pelaku seni pertunjukan tradisional menjalankan peran yang berbeda dengan
seniman modern. Seniman modern lebih menekankan permainan atau play yang oleh
pelukis Pablo Picasso dikatakan bahwa semua seniman itu pendusta tetapi dusta
untuk mengungkapkan kebenaran. Pertunjukan seni modern bersifat pura-pura atau
seolah-olah, yaitu bermain, sedangkan seniman tradisional Indonesia berkesenian
adalah amat serius yang menyangkut keselamatan pribadinya bahkan keselamatan
masyarakatnya.
Dalam
seni pertunjukan yang berlangsung dalam trance, seniman bertaruh dengan
keselamatan dirinya kalau tidak sungguh-sungguh, misalnya bermain sambil
mengunyah kaca, menusukkan keris ke dadanya, mengiris lidahnya dengan parang,
atau jenis spektakel yang lain. Seni pertunjukan memang suatu permainan tetapi
tidak boleh main-main karena berkaitan dengan kehadiran daya-daya metafisik,
daya-daya gaib.
5. Waktu Pertunjukan
Seni
pertunjukan tradisional lebih banyak dilakukan pada malam hari dari pada siang
hari, mirip seni pertunjukan modern. Namun alasannya mungkin berbeda. Pada seni
modern, malam hari adalah waktu istirahat dari kerja. Tetapi seni tradisional
lebih menekankan alasan yang bersifat metafisik. Kehadiran daya-daya metafisik
dipercayai lebih banyak terjadi malam hari, seperti hadirnya hantu-hantu dalam
kepercayaan rakyat.
Pertunjukan
siang hari juga dilakukan terutama yang bersifat seni pawai atau arak-arakan
keliling desa. Di Jawa Barat seni pertunjukan yang ramai-ramai berkeliling ini,
seperti sisingaan dan kuda renggong dilakukan dalam hajatan khitanan. Begitu
pula arak-arakan tari seblang di Banyuwangi berhubungan dengan hajatan bersih
desa. Di Bali tarian Sang Hyang Dedari juga berkeliling kampong.
Sepengetahuan
saya belum ada seni pertunjukan yang dilakukan pada pergantian hari, yakni
subuh dan senja.
6. Sponsor Pertunjukan
Hampir
semua pertunjukan tradisional memiliki sponsor tunggal, yakni orang yang punya
hajatan. Seluruh pembiayaan seni pertunjukan dan ritual hajatan, yakni ritual
peralihan (rites of passages), ditanggung sepenuhnya oleh yang punya hajat.
Begitu besarnya beaya yang dikeluarkan sehingga peristiwa hajatan dengan seni
pertunjukan disebut sebagai “sedang punya kerja”. Hal ini sekali lagi menunjukkan
betapa seriusnya peristiwa seni pertunjukan tradisional. Seni adalah kerja,
bukan main-main tetapi sungguh-sungguh.
Dimasyarakat
Baduy Jawa Barat, permainan anak-anak (kaulinan barudak) sama sekali bukan
main-main tetapi disebut sebagai pagawean barudak atau kerja anak-anak.
Seni
pertunjukan ntradisional masih hidup sampai sekarang sepanjang seni ini masih
berfungsi tradisional yakni sebagai bagian dari upacara hajatan. Para
senimannya juga masih dapat hidup dari profesinya karena setiap pertunjukannya “diborong
kontan” oleh yang punya hajat yang mengundangnya.
Di
masa transisi masyarakat tradisional ke modern, terutama di pulau Jawa,
peristiwa hajatan sering diisi oleh seni modern yang sekuler, misalnya penyani
dangdut organ tunggal, karena beaya jauh lebih murah dari pada memanggil
pertunjukan wayang. Seni pertunjukan modern difungsikan secara tradisional.
Pada
masa larisnya pertunjukan layar tancap, di desa-desa Jawa Barat hajatan sering
memanggil layar tancap untuk memutar film-film yang ada kaitannya dengan maksud
hajatan, misalnya film silat Jaka Sembung untuk khitanan, atau Pangantin Remaja
untuk hajatan perkawinan.
7. Sesajen
Dalam
seni pertunjukan tradisional senantiasa disiapkan seperangkat sesajian berupa
benda-benda alamiah (bunga, buah, daun, ayam, dsb.) bahkan benda-benda modern
misalnya rokok, tembakau, cerutu. Juga ada kalanya air putih, air the, air
kopi. Jenis perangkat sesajian ini amat banyak variannya, bahkan untuk satu
daerah.
Penelitian
mengenai jenis sesajian ini sepanjang pengetahuan saya belum pernah dilakukan
orang. Jenis sesajian apa untuk keperluan hajatan mana itulah yang perlu
diketahui hubungannya. Sesajian seni pertunjukan di keraton-keraton Jawa
berbeda dengan di kalangan rakyat perdesaan. Yang jelas senantiasa ada sesajian
pembakaran kemenyan.
Sesajian,
meskipun berupa penganan atak makanan, buah-buahan, tembakau atau rokok, bukan
dimaksudkan sebagai makanan roh-roh metafisik yang dihadirkan dalam
pertunjukan, tetapi lebih berupa simbol-simbol kosmik. Simbol benda-benda alamiah
dan benda-benda budaya di dalamnya dapat dibaca sebagai pasangan “lelaki
kosmik” dan “perempuan kosmik”, yakni simbol-simbol makrokosmos alam raya ini
yang disandingkan dalam harmoni di dunia manusia (mikrokosmos). Bersandingnya
mikrokosmos dan makrokosmos atau mikrokosmos itu sendiri adalah makrokosmos
dapat menghadirkan yang bersifat metakosmos.
Sesajian
berupa penganan dan makanan, setelah selesai pertunjukan, dapat dimakan oleh
manusia. Tetapi selama pertunjukan sesajian tidak boleh diubah atauy diganggu
siapa pun karena dapat berakibat buruk bagi keselamatan ritual pertunjukan.
Pembakaran
kemenyan merupakan symbol axis mundi atau tiang penghubung antara dunia fisikal
manusia dengan alam metafisik di Dunia Atas. Symbol axis mundi semacam ini juga
ditemukan dalam bentuk nasi tumpeng, daun hanjuang atau beringin yang berasal
dari pohon-pohon yang menjulang ke atas tanpa dahan.
8. Mantera
Mantera
adalah bahasa magis yang mengandung arti dan sekaligus juga tak dikenal
artinya. Itulah bahasa komunikasi pawing dengan alam metafisika. Mantera juga
sejenis axis mundi, penghubung dunia manusia melalui penyebutan alam semesta
untuk sampai ke dunia metafisika. Dengan demikian fungsinya sama dengan
pembakaran kemenyan.
Dalam
mantera terdapat sejarah system kepercayaan sepanjang yang dikenal di masa
kini. Dalam mantera kadang memuat system kepercayaan primordial, Hindu-Budha,
dan malahan Islam, dalam penyebutan nama-nama alam metafisika atau bahkan
bahasa yang hidup dalam system kepercayaan itu.
Mantera
diucapkan, dibisikkan, atau bahkan dinyanyikan sebelum pertunjukan dimulai,
oleh pawang pertunjukan, baik seniman pelakunya sendiri maupun pemimpin
pertunjukan (pawang), atau kadang oleh juru musik pertunjukan. Dengan demikian
mantera dapat berupa kata-kata lisan atau kata-kata diiringi music dan
dinyanyikan.
Dalam
pertunjukan cerita tutur Sunda, yakni pantun Sunda, mantera ini disebut rajah.
Ada rajah pembuka dan rajah penutup. Rajah pantun ini ada yang pendek tetapi
juga ada yang sangat panjang sampai meliputi sepuluh atau dua puluh halaman
kalau ditulis dalam ketikan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengucapan
mantera atau doa-doa baku untuk memulai seni pertunjukan.
Menghadirkan
cerita dalam seni pertunjukan dipercayai sebagai menghadirkan tokoh-tokoh
mitologi masyarakat setempat dalam tempat pertunjukan. Selama membeberkan mitos
dalam pertunjukan, tempat pertunjukan menjadi ruang paradox, yakni ruang
metafisik sekaligus ruang nyata manusia. Itulah tempat dan waktu sacral
pertunjukan. Itulah sebabnya penonton tidak boleh meninggalkan pertunjukan
sebelum selesai sempurna, yakni sebelum tokoh-tokoh mitos itu “kembali” ke alam
metafisiknya.
Dalam
alam pikiran modern kita, hal-hal demikian tentu sudah tidak dipercayai lagi.
Seni pertunjukan adalah seni pertunjukan yang berefek memberikan pengalaman
yang menyenangkan. Yang mempercayainya bersifat tahayul. Namun bentuk dan
struktur seni pertunjukan itu sendiri masih membawa substansi alam pikiran
tahayul di masa lampau, meskipun masyarakat pemiliknya sudah tidak hidup lagi
dalam alam pikiran tua tersebut.
Dalam
cerita pantun Lutung Kasarung terdapat rajah pembuka seperti dibawah ini dalam
terjemahan sastrawan Sunda Ajip Rosidi :
Mengawan
dupa ke manggung
Ke
manggung minta pelindung
Pada
dewata minta suka
Pada
pohaci minta suci
Aku
akan belajar ngidung
Menembang
cerita pantun
Menggugah
cerita wayang
Menamsilkan
menyusur laku
Menyusur
laku dahulu kala
Mengusut
perbuatan lama
Tujuh
lorong berjajar
Kedelapan
yang sedang ditempuh
Kalau-kalau
salah mengucapkan
Kalau-kalau
melanggar dasar
Pantanglah
salah mengucapkan
Pantanglah
melanggar dasar
Sebab
jelas susunan laku
Terbentang
jalan cerita
Dari
mana asal perundingan?
Dari
mana bakal cerita?
Tetaplah
dari kahyangan
Ditampung
dengan cupu manik
Cupu
manik astagina
Ditempatkan
atas saratangan
Ditutupi
dengan mandepun
Disimpan
di jalan raya
Dibuka
oleh orang lalu
Oleh
yang tahu wataknya
Oleh
yang tahu timbangan
Oleh
orang aktif kreatif
Waktu
dibuka ramai bernyanyi
Yang
minta dikisahkan
Nah
Simpan
di handeuleum rimbun
Simpan
di hanjuang rinda
Peranti
menyimpan dan mengambilnya lagi
Beberapa baris puisi yang dinyanyikan dengan suara
dada sambil diiringi bunyi kecapi ini mengandung misteri, seperti “tujuh lorong
berjajar”, “cupumanik astagina” yang dialami sapu tangan dan ditutupi mandepun,
“disimpan di pohon handeuleum rindang”, yang mengandung simbol-simbol religi
yang harus dipecahkan.
Rajah
pantun Bogor agak lain :
Pun
Sapun
Ka
ruhur ka sang rumuhung
Ka
Nu Muhung di Mandala Agung
Ahuung
Ka
Guru sakabeh Guru
Ka
Raja sakabeh Raja
Nya
ka Inyaaa.
Masih
terlihat unsur primordial (Sang Rumuhun, nenek moyang) dan Hindu (Guru atau
Siwa Mahaguru), juga “Ahung” dari AOM Hindu.
Sedangkan
pantun di daerah Subang menunjukkan unsur-unsur Islam:
Astagpirulloh
kal adim
Meunang
opatpuluh kali
maca
astagpirulloh kal adim
Ngecapkeun
sahadat dua
Sahadat
kalimah kalih
dst.
Isi
rajah pada umumnya meminta toloh dan meminta ampun kepada mereka yang sedang
bertapa di Dunia Atas (Manggung) untuk dibangunkan dan dimohon turun ke dunia
manusia agar dapat dikisahkan riwayat mereka di masa lampau agar dapat menjadi
pegangan hidup bagi anak cucu mereka. Juru pantun mohon ampun kalau ada salah
ucap dan salah cerita, meskipun sudah mengikuti alur yang sudah ditetapkan.
Rajah
pemunah atau penghabisan diucapkan oleh juru pantun menjelang usai pertunjukan
menuturkan pantun, yang isinya juga mohon ampun apabila ada kesalahan ucap dan
cerita. Para tokoh mitos itu dipulangkan kembali ke puncak pohon handeuleum
atau hanjuang tempat mereka bertapa dalam ketenangan abadi.
Kalau
di Jawa Barat kaya dengan seni pertunjukan pantun, yang belum sepenuhnya
dihimpun, di Jawa Tengah dan Jawa Timur kaya dengan seni pertunjukan wayang
kulit. Mantra dalam pertunjukan wayang kulit terdapat dalam suluk yang
dilagukan oleh dalang di berbagai kesempatan pertunjukan.
Mantra
sebelum pertunjukan terdapat dalam rangkaian lagu-lagu Tatalu. Lagu-lagu tatalu
dibunyikan dalam rangkaian enam lagu dengan irama yang semakin cepat dan cepat
sekali. Umumnya tatalu hanya difahami untuk “mengundang penonton wayang” yang
akan segera dimulai Enam lagu tatalu yang dibawakan oleh seperangkat gamelan
wayang, terdiri dari :
1. Cucur Bawuk – Pare Anom
2. Ladrang Srikaton
3. Ketawang Sukmo Ilang
4. Ayak-ayakan Manyuro
5. Srepeg Manyuro
6. Sampak Manyuro
Dari
judul lagu-lagunya dapat ditafsirkan maksud mantranya. Cucur bawuk adalah kue
sejenis serabi yang dihubungkan dengan “bawuk” kelamin anak perempuan. Pare
Anom tak lain adalah batang padi yang masih muda yang biasanya masih keras dan
berdiri tegak, itulah simbol kelamin lelaki. Lagu pertama ini menggambarkan
keberadaan ini hanya terdiri dari pasangan yang saling meng-ada-kan dan saling
melengkapi meskipun saling berbeda secara diametral. “Dunia ini isinya hanya
dua perkara saja”, begitu ungkapan Jawa. Itulah pasangan yang substansinya
saling berbalikan.
Ladrang
Srikaton dapat berarti yang segala Nampak ini dan berubah ini adalah ladrang
atau biasa-biasa saja. Inilah hidup duniawi.
Ketawang
Sukmo Ilang adalah “senja lenyapnya sukma ini”. Masa senja setiap manusia yang
mendekati kematian. Setiap manusia akan mati. Ayak-ayakan Manyuro adalah
“tapisanyang menyaring siapa yang akan mendekati waktunya”. Setiap manusia
sudah ada waktunya sendiri kapan mendekati ajalnya.
Srepeg
Manyuro berarti “waktunya sudah mendesak sekali”. Sudah taka da waktu lagi
untuk menjelang ajal.
Sampak
Manyuro berarti sudah menyatu padu dengan Yang Tiada. Ada menjadi Tidak Ada
untuk menyatu dengan Yang Maha Ada. Manunggaling kawula dan Gusti, menyatunya
hamba dengan Tuhannya.
Tatalu
dengan jelas sekali menggambarkan manusia dunia yang mendekat untuk menyatu
dengan Tuhan, menjadi satu dengan Tuhan. Mantra ini mirip rajah pantun yang
“menurun”-kan pahlawan-pahlawan mitos Sunda dating ke dunia manusia, sedang
mantra wayang kulit justru sebaliknya, yakni naik menyatu dengan tokoh-tokoh
wayang yang akan hadir dalam pertunjukan.
Setelah
tatalu barulah pertunjukan wayang dimulai.
9. Konteks Budaya
Seni
pertunjukan tradisional dapat mendatangkan daya-daya transenden-magis hanya
terjadi di lingkungan masyarakat yang masih kuat tradisi religi primordialnya
(adat). Di lingkungan masyarakat yang sudah berpikiran modern atau masyarakat
yang kuat beragama samawi, daya-daya magis-transenden ini sudah tidak
dipercayai lagi.
Pertunjukan
seni pantun dan wayang masih dipercayai mengandung daya-daya magi yang
menyelamatkan terlihat jelas pada hajatan ruwatan. Di luar itu
pertunjukan-pertunjukan ini tetap hanya memberikan hiburan belaka atau yang
memberikan ajaran-ajaran kesusilaan masyarakatnya, mana perbuatan baik dan
tidak baik.
Namun
dari wujud pertunjukan itu sendiri yang masih menyediakan sesajen dan
syarat-syarat lain yang sudah dibicarakan diatas mengisyaratkan bahwa pelaku
seni pertunjukan tidak berani mengubah syarat-syarat yang sudah ada. Ketidak
beranian melanggar itu masih menunjukkan sisa-sisa kepercayaan lama yang dapat
mengakibatkan musibah pada pelakunya.
Seni
pertunjukan tradisional Indonesia pada dasarnya terdiri dari berbagai lapisan
budaya, yakni primordial suku, hindu-Budha-Tantra, Islam, dan modern. Budaya
luar yang masuk bersama agama baru ternyata tidak mampu menggeser filosofi seni
primordialnya. Perubahan-perubahan hanya terjadi pada unsur-unsur bentuknya,
atau kadang filosofi dasarnya sepanjang memperkuat filosofi awalnya yang
mistik, kadang magis. Religi primordial suku-suku di Indonesia memandang adanya
kesatuan kosmik antara alam ketuhanan, alam semesta, dan alam manusia.
Keselamatan manusia, disamping atas usaha sendiri, juga tergantung dari
daya-daya transenden ketuhanannya. Yang transenden itu hadir bersama yang
imanen sehingga dapat menolong apa yang dibutuhkan manusia. Hanya kehadirannya
memilih yang “tidak melanggar dasar” seperti diucapkan dalam rajah pantun
Sunda. Itulah pola-pola hubungan yang membentuk struktur bangunan wujudnya,
termasuk wujud seni pertunjukan.
Membangun
Negara, kampong, rumah, kesenian, agar selamat dan sejahtera mengikuti pola
rasional yang sudah diterima bersama. Dasar pola itu adalah dualism keberadaan.
Bagaimana menghadapi dualitas dunia ini, dalam kategori dasarnya maskulinitas
dan feminitas, adalah “dasar yang tidak boleh dilanggar” tadi. Pengaturan
lambat-cepat, lurus-lengkung, diam-bergerak, kekiri-kekanan, maju-mundur,
tunggal-pasangan, datar-tegak, semua itu memiliki pola pengaturannya sendiri
untuk tiap budaya. Pola-pola inilah yang saling memasuki antar budaya di
Indonesia.
Konsep
dasarnya adalah dwitunggal, satu tetapi dua, dua tetapi satu, baik tunggal
maupun ganda. Fenomenanya memang dualitas Ada ini, tetapi agar mengandung
transenden maka perlu disatukan kembali. Penyatuan atau pengesaan kembali ini
juga paradoksal, yakni kesatuan dalam pemisahan dan kesatuan dalam
penggabungan. Kesatuan dalam pemisahan terdapat dalam pola dua yang
mempertahankan ketegangan dualitas tunggal. Juga pola empat mempertahankan
pemisahan dualitas hanya disatukan kembali. Pengesaan secara harmoni atau
penggabungan dualitas terdapat dalam pola tiga, yakni dualitas dapat disatukan
kembali melalui entitas ketiga yang mengandung dua entitas yang saling
berseberangan. Pola lima atau Sembilan adalah penggabungan dualitas-dualitas
ganda yang melebur menjadi entitas tunggal yang paradoksal. Yang esa itu banyak
dan banyak itu esa. Harmoni dalam keselarasan total.
Pola-pola
demikian itu tercermin dalam bentuk seni pertunjukannya, baik dalam iringan
musiknya, gerak tarinya, pola latai tari, ceritanya, puisinya, warna kostumnya,
dan unsur-unsur lain seni pertunjukan tradisional.***(tulisan diambil dari http://matramantra.wordpress.com dan dipublikasikan di sini hanya untuk kepentingan pengembangan wawasan seni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar