Minggu, 02 Juni 2013

Mengolah Tradisi Dalam Teater Modern

Fredy M. S. B. Wowor
Tradisi Sebagai Sumber
Berbicara tentang tradisi, pertama-tama yang mungkin muncul dalam benak kita adalah sesuatu yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sesuatu itu bisa berupa gagasan-gagasan, pandangan hidup dan kebiasaan-kebiasaan. Dalam konteks kita di Sulawesi Utara, tradisi dapat dilihat dalam wujud maengket, kabasaran, makaaruyen, manee, via dolorosa, dll.

Dalam tulisan berjudul,”KEMBALI KE AKAR KEMBALI KE SUMBER”, yang disampaikan dalam Temu Kritikus dan Sastrawan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Bahasa pada bulan desember 1983 di Taman Ismail Marzuki, Abdul Hadi W.M. mengatakan bahwa tradisi tidak hanya berarti sehimpunan adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan, gagasan-gagasan, dan pandangan hidup yang secara turun temurun dialihkan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain. Tradisi merupakan seperangkat prinsip yang berkaitan dengan wahyu atau ilham darimana satu masyarakat atau individu terdorong melahirkan berbagai ekspresi budaya, termasuk seni dan sastra, pemikiran filsafat dan berbagai disipin ilmu pengetahuan. Di dalam tradisi terdapat azas dan sumber tunggal yang merupakan jantung hidupnya suatu peradaban dan kebudayaan,yaitu pengetahuan tentang hakikat tertinggi kehidupan (Pustaka Firdaus,1999:18).

Bertolak dari pendapat yang dielaborasi oleh Albdul Hadi W.M. dari pemikiran Seyyed Hossein Nasr ini, kita pasti dapat menemukan bahwa makna tradisi yang muncul di paragraf pertama tadi telah mengalami penyempitan makna, sesuatu yang cendrung terjadi memang seiring berlalunya waktu. Penyempitan makna ini telah menghilangkan dimensi spiritual yang sesungguhnya menjadi hakikat dari tradisi itu sendiri.

Jalan pencerahan dan kreativitas akan lebih terbuka seandainya pengertian hakiki dari tradisi ini dapat dihidupkan kembali. Pemahaman akan tradisi berdasarkan pengertian hakikinya ini akan memampukan kita untuk tidak hanya melihat kulit luar dari tradisi yang telah dipoles hingga mengkilat tapi justru dapat menembus hakikat terdalam yang menjadi pusat nilai dari tradisi itu.

Pemahaman seperti ini juga dapat menyadarkan kita bahwa bentuk-bentuk yang merupakan wujud manifestasi tradisi dapat berubah dari waktu ke waktu. Ini berarti tradisi dapat ditafsirkan terus menerus seiring berjalannya waktu dan generasi berganti. Tradisi menjadi sumber yang tak pernah kering dalam melakukan pencarian ke wilayah-wilayah yang belum terjamah dalam penciptaan.

Beberapa Corak Pendekatan Terhadap Tradisi
Bila kita telusuri perkembangan sejarah sastra dan teater di Indonesia, maka akan kita dapati beberapa corak pendekatan yang dipakai oleh para sastrawan/dramawan terhadap tradisi. Corak-corak tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Satu, para sastrawan/dramawan mengambil unsur-unsur tertentu dari budaya tradisional untuk menunjang inovasi dan penemuan daya ucap yang khas bagi karyanya. Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Suyatna Anirun, Nano Riantiarno misalnya dapat dikategorikan dalam pendekatan ini.

Kedua, para sastrawan/dramawan yang mengklaim perhatiannya hanya pada satu tradisi budaya daerah saja misalnya Jawa, Minangkabau, Sunda, Melayu Riau, dll. Wisran Hadi, pengarang dan dramawan dari Sumatra barat misalnya dapat dikategorikan dalam pendekatan ini. Karya-karya dari Teater Dinasti dan Teater Gandrik juga bisa dikategorikan dalam pendekatan ini. Dalam penulisan karya sastra seperti novel dan puisi, dapat disebut Umar Kayam, Linus Suryadi A.G., Y.B. Mangunwijaya dan Kuntowijoyo.

Ketiga, para sastrawan/dramawan yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu misalnya Hindu, Budha, Islam, dan Kristen atau pun kebatinan tertentu. Emha Ainun Nadjib, mohammad diponegoro, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Asma Nadia dan Helvy Teana Rosa (pendiri Forum Lingkar Pena) yang mempelopori karya sastra perempuan islami bisa dikategorikan dalam pendekatan ini. (1999:6).

Pilihan Generasi Sekarang Ini
Salah satu tantangan yang pasti dihadapi oleh para sastrawan/dramawan di zaman ini adalah melimpahnya akses terhadap berbagai tradisi. Kenyataan ini tidak bisa kita ingkari lagi, kehadiran teknologi informasi dalam bentuk internet telah mempermudah kita mengakses berbagai informasi pengetahuan.

Akses yang mudah terhadap berbagai pengetahuan ini berarti akses yang mudah juga terhadap berbagai tradisi. Pada titik ini, seorang sastrawan/dramawan di Sulawesi utara ini dituntut untuk mampu mengkolaborasikan berbagai pendekatan terhadap tradisi di atas.

Pendekatan pertama terhadap tradisi untuk menemukan unsur-unsur inovatif tradisi untuk menunjang penemuan daya ucap sebuah karya sangat perlu untuk dipadukan dengan potensi lokalitas yang membentuk pendekatan kedua.

Adapun pendekatan ketiga yang terpusat pada spiritualitas tertentu bisa menjadi semacam perekat. Gabungan ketiga pendekatan terhadap tradisi ini menurutku akan menciptakan karya yang khas yang mampu mendukung eksistensi seorang sastrawan/dramawan di Sulawesi utara sekarang ini di tengah arus penyeragaman yang melindas dari balik globalisasi.*** Oleh: Fredy M.S.B. Wowor.

Cat: Tulisan ini disampaikan dalam Sarasehan Teater Sulawesi Utara di Taman Budaya, Senin,16 November 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar