Senin, 27 Mei 2013

Peristiwa Teater dan Persoalannya

Sebuah peristiwa teater lahir atas sebuah konsep ‘bersama, pada suatu saat’, dan ‘di sebuah tempat’. Peristiwa teater adalah hari ini dan di sini. Teater lahir dari tiga kekuatan yang bersinergi, sehingga kita bisa menyebutnya peristiwa teater, yaitu: 1. Pekerja Teater (seniman), 2. Tempat (ruang terbuka/tertutup), 3. Komunitas Penikmat (penonton).
Teater tak luput dari persoalan kompleks, seperti halnya cabang – cabang seni lainnya, namun setiap persoalan harus diselesaikan. Teater di Sulawesi Utara sebagai salah satu contohnya, teater sekarang ini lebih dikenal sebagai seni pemanggungan/ pertunjukkan yang eksklusif. Teater yang merupakan sebuah pertunjukkan terlengkap sebetulnya mulai kehilangan sentuhan terhadap kalangan masyarakat pada umumnya (bukan kalangan komunitas/ seniman teater). Ada permasalahan yang terlalu kompleks di sini. Barangkali ini dialami oleh sebagian besar grup Teater yang ada di Sulawesi Utara.

Letak pemasalahan ada pada penonton, sekalipun sebenarnya penonton tak harus menjadi kambing hitam dalam hal ini. Mereka hanya menonton, menikmati, kemudian menyerap sebuah sajian pementasan dengan mata, hati, rasa dan dengan bebas bisa mencaci maki, menghargai bahkan memuji. Permasalahan kali ini adalah bagaimana menghadirkan penonton teater (tetap)? Mengapa teater kurang diminati masyarakat umum? Apa pertanggung jawaban teater terhadap penonton? Barangkali hal ini perlu disentil lagi, mungkin saja para teaterawan/ pekerja teater secara tak sadar lupa dengan permasalahan ini, dan barangkali itu terjadi akibat kesibukkan dari proses kreatif secara kolektiv para seniman. Sudah sepatutnya teaterawanlah yang harus bertanggung jawab, bukan penonton.

Permasalahan hari ini, harus diselesaikan hari ini, maka dari itu hendaklah kita menyelesaikannya hari ini, karena besok, ada masalah lain yang perlu diselesaikan. Bagaimana menghadirkan penonton? Teater sebagai tontonan ekslusif (keren), sedangkan teater hadir secara bersama, dan dibangun bersama, tapi sampailah teater selalu pada penonton yang itu – itu saja (kalangan komunitas/ teaterawan). Upaya untuk mendekatkan teater masuk ke dalam masyarakat belum maksimal bila dilihat dari pentas – pentas proyek semata (pentas instansi - gereja), pentas produksi, lomba teater (di sulut dikenal dengan festival teater), sedangkan perlu adanya upaya lain untuk mendekatkan teater ke dalam lapisan masyarakat pada umumnya. Di sini tak perlu dijawab, cukup diprovokasi. Biarkan seniman teater berpikir dan menemukan jawaban itu sendiri. Teater kurang diminati masyarakat umum? Secara sadar, harus diakui, bukan untuk membanding – bandingkan, tapi pada kenyataan teater kalah populernya dengan pentas musik (konser dll), dan film, padahal teater merupakan kegiatan yang menarik dan memang dibutuhkan.

Teater sebagai “seni bebas” bisa membantu pemahaman manusia terhadap semesta dan dunia yang kita tinggali, teater juga merupakan “gerakan sosial” dan bisa jadi merupakan profesi tertua sesudah kekuasaan/ politik. Barangkali perlulah kita membukakan mata masyarakat bahwa teater juga merupakan hiburan, dan hiburan itu menyenangkan. Teater sebagai sebuah seni paling komplit sudah tentulah harus bertanggung jawab terhadap masyarakat/ penonton (masyarakat kesenian maupun bukan). Secara estetika, teater sepatutnya memberikan ruang untuk sebuah penafsiran yang bebas dari penonton, tapi bukan secara serta merta melepaskan tanggungjawabnya untuk menghibur dan mendidik.

Teater bukan hanya sekedar pertunjukkan yang di dalamnya melingkupi seni peran, seni musik, seni rupa, seni instalasi dll, tapi teater juga merupakan senjata sosial/ politik, sebagai dokumen sejarah, sebagai sebuah hiburan, sebagai pendidikan dan sebagai permainan. Dari pertanggung jawaban inilah, teater lahir. Demi perkembangan teater di Sulawesi Utara, teater kiranya dapat bersentuhan langsung dengan masyarakat, sebagai langkah awal untuk mencintai.***Achi (Sumber: Kitab Teater – Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukkan, Nano Riantiarno)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar