Rabu, 10 Agustus 2011

TERSESAT

Achy Breyvi

Aku berkisah tentang saat itu, Hujan turun begitu deras sementara mentari tereliminasi untuk sejengkal waktu, sedangkan jaket hujan yang ku pakai cukup mantap melindungiku agar tak basah. Langit terus menangis meratap tak kunjung henti bahkan awan cemberut begitu lama semenjak angin bertiup dan seiring jantungku berdetak. Sekumpulan kodok mulai bernyanyi sumbang. Lalu ku duduk sebentar melihat kompas tua yang ku pegang di tangan kiriku seraya ku menampung air hujan yang jatuh supaya bisa menjadi pelepas dahagaku di kala itu , walau hanya untuk sekedar memuaskanku dari kehausan setelah panas tadi menyengatku.


“Ah, sepertinya pertandingan sepakbola akan segera di mulai, mungkin mengajak aldo taruhan merupakan salah satu syarat untuk sekedar menambah daya adrenalin agar nantinya termotivasi dengan taruhan, dan memungkinkan saya untuk wajib tidak tertidur dalam menyaksikan pertandingan kali ini. begitulah gumamku di dalam hati. “ ya halo”, sahut aldo ketika mengangkat telepon dariku. Sebuah tawar menawar antara kami berdua tak terhindarkan lagi dan, “setuju”! kami sepakat dengan hasil negosiasi dan ganjaran dari taruhan tersebut. Aku menjagokan Real Madrid sedangkan Aldo menjagokan Manchester United. Saat itu pertandingan babak delapan besar  Liga champions Eropa  yang mempertemukan kedua tim raksasa dari masing – masing Negara. Inggris mengutus setan merah (MU) sedangkan Spanyol mengutus Los Galacticos (RM). secangkir kopi susu dan biscuit coklat keju mungkin bisa menemaniku untuk malam ini. Begitulah  aku berceloteh terhadap remot yang kupegang. Hujan turun begitu deras di malam itu, namun apa yang terjadi ? ternyata aku hanya tertidur di atas sofa berwarna cokelat tua yang tertatah rapih dengan keampuhannya yang siap menggoda siapa saja yang berderai diatasnya. Sesosok televisi berbalik menyaksikanku tertidur di malam itu. Sementara sisa biscuit yang tergeletak di piring kaca berwarna putih telah habis dilahap tikus tikus rakus. Nyamuk nyamuk nakal tak dapat lagi menyetrum kulitku, sepertinya aku tertidur begitu lelap dan mungkin saja mulai meninggalkan dunia nyata, sebab aku tak mengindahkan dingin yang menusuk dan suntikan – suntikan nyamuk berdasi yang beringas hingga tak terasakan lagi. Mungkin begitulah sedikit gambaran imajinasiku tentang apa yang kualami di malam itu.

Kemudian Manchester United telah mencetak 1 gol di menit yang berjalan memasuki 42 menit babak pertama, yang dicetak oleh Wayne Rooney melalui sundulan tajamnya yang berhasil mengelabui kiper lawan. Skor sementara 1-0 untuk keunggulan Setan Merah. Ayahku kemudian keluar dari kamarnya dimalam itu, entah kegelisahan apa yang dirasakannya, kemudian dia mendapatiku sedang terlelap tidur diatas sofa. Dia menyelimutiku dengan selimut kesayanganku yang ku letakkan dibawah sofa coklat yang menggendongku di malam itu. “dasar Julia”! seharusnya kau bernama Julius, ayahku mencoba membangun canda di kala itu, “tomboy”! dia mendikteku dengan kalimat itu. Seharusnya kau sedang terlelap tidur dikamarmu, bukannya menunggu berjam – jam hanya untuk menyaksikan tim kesayanganmu berlaga di layar kaca, tapi pada akhirnya tim kesayanganmulah yang menontonmu tertidur. Sambil menyeringai, kemudian dia tertawa pelan, sebab jika mengikuti hasratnya untuk tertawa, pasti seluruh penghuni yang ada dirumah itu akan segera terbangun mendengar kerasnya suara ayahku jika sedang tertawa. Dia membelai rambutku, kemudian mengecup lembut keningku lalu bergegas meninggalkanku menuju ruang aktivitas malamnya. Yah aktivitas rutin yang dia lakukan setiap malam hari, sebelumnya dia sempat menemani ibu beristirahat di kamar, namun setelah ibu terlelap tidur, biasanya dia menuju perpusatakaan pribadinya di samping ruangan tamu. Mungkin kalian bisa menebak, kalau yang dilakukannya adalah membaca, sebab konon membaca di malam hari dapat menolong sebuah penyakit susah tidur di malam hari, atau dengan nama tren-nya yaitu insomnia. Akan tetapi ayahku menulis di ruangan itu, sebab dia adalah seorang penulis terkenal dan kemungkinan malam hari merupakan waktu yang tepat untuk menyalurkan inspirasi yang sepanjang hari terjerat dalam pikiran setiap seniman. Dia mulai menulis dan mencuri setiap ide – ide liar yang beterbangan di sela – sela malam dan di antara rak – rak buku yang tertata rapih. Ayahku merupakan salah seorang sastrawan yang cukup berpengaruh. Lima hari yang lalu dia berhasil mencetak sebuah rekor muri, ketika dia menerbitkan buku barunya yang berjudul “HUKUM RIMBA” adalah sebuah novel yang menceritakan tentang sekelompok mahasiswa yang melakukan penelitian di suatu daerah terpencil di wilayah Indonesia timur disana mereka saling membunuh satu sama lain sebab mereka terperangkap di suatu suku yang kejam yang menggunakan sistim yang terkuat menang, makan, dan kenyang sedangkan yang lemah kalah, kelaparan dan mati. Cara pembuatan novel tersebut adalah merupakan alasan mengapa ayah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, sebab dia menulis novel tersebut hanya dalam kurun waktu 24 jam dan mampu merangkumkan 623 halaman. Dia menulis novel tersebut tanpa beranjak dari tempat duduknya kecuali sebentar untuk sekedar membuang air kecil. Namun itu pun tak memakan waktu lebih dari dua menit. Dia tak beranjak dari hadapan laptopnya ketika jemarinya mulai memainkan peran. Aku dan ibu hampir tak percaya dengan apa yang dilakukannya ketika itu. Sampai – sampai ibu menciptakan lelucon baru yang menjuluki ayah dengan sebutan mesin pencetak novel, dan setidaknya ayah merasa cukup terhibur dengan lelucon itu. Aku begitu bangga terhadap ayah, dan malam itu ayah bermaksud untuk melanjutkan sebuah cerpen yang ditulisnya. Sebelumnya dia menyelesaikan sebuah cerpen yang begitu menarik yang sempat ku baca, yaitu cerpen tersebut berjudul “TERSESAT”!.

Tolong! Tolong! “ hari semakin gelap dan tampaknya mentari enggan berkunjung lagi, sedangkan langit tak henti -  hentinya menangis. Aku berteriak di bawah pohon ketapang yang begitu besar. Kabut tipis turun keatasku seolah hendak membungkusku dan menculikku. Jaket hujan yang ku kenakkan sudah tak mampu lagi membendung rasa dingin yang kini mulai merengsek masuk ke sumsum tulang – tulangku. Lambungku terasa begitu kosong pertanda perutku mulai menjerit lapar, sementara kepalaku mulai terasa sakit, mungkin saat itu aku terkena hipotermia atau apalah sejenisnya. Aku semakin ketakutan, kebingungan, kelaparan dan kedinginan sedangkan otakku mulai malas berpikir dan tak tahu aku harus berbuat apa – apa lagi. Kabut yang turun mulai merabunkan jarak pandangku sehingga menjadi semakin terbatas. Kemudian hari mulai gelap, perlahan – lahan bintang mulai berkunjung di beranda langit. Lalu ku putuskan untuk tetap duduk di bawah pohon tersebut dan tak beranjak kemanapun.

Malam itu aku terus menatap ke beranda langit, berharap mendapatkan cahaya bulan secara gratis, tapi sayangnya bintang begitu cepat berpamit bahkan bulan di selimuti awan gelap diwaktu malam. Mungkin saja mereka berdua di undang di sebuah acara pesta di planet lain selain bumi. Jangkrik berdenyit tak henti bagaikan alunan melodi yang merdu, namun terdengar sayup –sayup di telingaku. Aku merasa semakin ketakutan lalu ku meraba setiap sudut – sudut kantong pakaian yang kukenakkan hendak bermaksud mencari secuil benda yang dapat memberikanku sedikit cahaya di malam yang hitam pekat. Tak satupun yang kutemukan, bahkan kompas yang sempat ku pegang tadi, kini aku tak tahu lagi dimana ku letakkan atau mungkin dia telah mendahuluiku pulang. Dan saat itu hanya satu hal yang terlintas di kepalaku, hanya satu kata, satu kalimat, yaitu “PULANG” tapi nasib belum memihakku. Aku merasa seperti ada yang sedang menyaksikanku saat itu. Mereka mungkin menertwakanku atas kemalangan yang menimpaku. Ya, mereka para makhluk halus penghuni hutan itu aku bisa merasakannya. Beruntung bagiku tidak memiliki kemampuan melihat makhluk – makhluk halus disekitarku, karena jika aku memiliki kemampuan tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa jantungku berhenti saat itu juga ketika  ku melihat mereka. Perasaanku mengatakan bahwa sepertinya salah satu di antara mereka sedang asik menggerayangi tubuhku ketika itu, lalu ada yang menatapku dari jarak begitu dekat, tepat dihadapanku. Mataku terus ku pejamkan sebab tak ada bedanya lagi membuka mata atau memejamkannya karena situasi saat ini sama gelapnya, bahkan hatiku pun ikut – ikutan gelap. Kepalaku rasanya mulai membesar sedangkan seluruh buluh tubuhku mulai berdiri, sedangkan kepalaku terasa hampir mau pecah. Aku terus berdoa di dalam hatiku dan berusaha mengendalikan situasi saat itu, lalu aku teringat akan sebuah petikan terbaik yang pernah ku baca yaitu, “teriaklah jika ketakutan menghampirimu, maka ketakutan itu dengan sendirinya akan menjauh”. Namun ketika ku ingin berteriak, ku urungkan niatku sebab bibir dan lidahku rasanya seperti di rantai dengan gembok berukuran jumbo. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata lagi untuk sekedar menyelamatkanku dari ketakutan itu. Setelah beberapa waktu aku tenggelam dalam lautan kegelisahan, kuterus pejamkan mataku dan berharap pagi segera menjemputku dan menyelamatkanku dari malam yang begitu menyakitkan ini.

Aku terlelap tidur. Satu babak telah berakhir keunggulan sementara oleh Manchester United dengan skor 1-0. Aku masih tertidur sementara teleponku berbunyi rupanya Aldo tidak mengalah begitu saja melihat tim kesayangannya di bungkan di 45 menit babak pertama. Dia mengirimkan sebuah pesan singkat berupa peringatan bahwa tim unggulannya belum di pastikan kalah sebab babak kedua baru akan segera di lanjutkan. Tapi sayangnya aku tak membacanya sebab aku masih terlelap tidur.

Tiba – tiba aku berada di sebuah daerah pekuburan tua, aku melihat beberapa orang berjalan menuju ke arahku sambil memegang benda – benda tajam bahkan senjata api.  Firasatku mengatakan bahwa mereka hendak melakukan sesuatu terhadapku dengan benda tersebut. Aku panik, lalu ku pandangi sekelilingku, tak seorang pun ku temukan berada tepat di arahku, ternyata benar adanya bahwa aku adalah target dari beberapa orang tersebut. Mereka berpakaian compang camping, dengan luka – luka meleleh di sekujur tubuh, dan desahan nafas yang tak tentu di sertai erangan, mereka terlihat begitu menakutkan. Aku mencoba meloloskan diri untuk menghindari mereka, baru saja ku membalikkan badanku kearah belakang, dan tiba – tiba, “aw””!. Aku tak sadarkan diri. Mungkin salah satu dari mereka berhasil meraihku terlebih dahulu, atau mungkin seseorang berdiri tepat di belakangku telah menimpuk kepalaku hingga aku tak sadarkan diri dalam sekejap ketika ku kedipkan mataku.

*****

Syukurlah pagi telah tiba, kemudian ketika ku membuka mataku, cahaya menyilaukan mampir di beranda alis dan keningku, seorang petugas tim SAR dengan pakaian berwarna orange, berhasil menemukanku dengan keadaan yang memprihatinkan. Kondisi fisik dan mentalku begitu lemah, sehingga mengharuskannya untuk tidak hanya sekedar memapahku, melainkan harus memikulku melewati beberapa ranting – ranting yang menyilang.

Babak kedua telah berjalan, Real Madrid  berhasil membalas ketertinggalan dengan mencetak satu gol, oleh lesatan terarah Chrristiano Ronaldo yang sempat menjadi mega bintang di kubu Manchester United  sebelum akhirnya berlabu bersama – sama dengan para bintang di klub raksasa spanyol yaitu Real Madrid. Sementara pertandingan berjalan imbang 1- 1.

Sekarang aku kebingungan aku berada di ruangan apa, sebab yang bisa ku pandangi secara kasat mata hanyalah hamparan putih bersih seperti salju, sementara itu aku tak mengenakkan pakaian sehelai pun, ku dapati tubuhku penuh luka gores, dan perasaanku menjadi semakin tak menentu dengan seribu praduga dengan situasi tersebut. Ruang itu dingin, tak ada pintu ataupun jendela, dan ketika ku menoleh ke bawah ranjang tempatku terbangun, ku temukan sebuah bom waktu yang siap meledak dalam kurun waktu 2 detik, lalu, “booommm”!!.

Aku sekarang terbangun lagi dan berada di tengah – tengah kuburan tua yang sempat ku lalui tadi, dimana mungkin sebuah benda menghantam kepalaku, aku semakin bingung dengan semua ini, apakah ini mimpi ataukah? Dan sampai saat ku menceritakan ini aku belum bisa memastikannya. Lalu ku melihat beberapa mayat jatuh tergeletak di tanah, darah berhamburan menyergapi setiap timbunan – timbunan tanah pekuburan. Mayat – mayat itu adalah mereka yang hendak menyergapiku tadinya dengan berbagai benda tajam. Satu keanehan, lantas siapa yang membunuh mereka ? apakah aku ? kurasa itu tidak mungkin sebab setahuku aku terlebih dahulu terhempas jatuh ketanah ketika ku hendak melarikan diri. Aku berjalan menyusuri kuburan itu dan begegas meninggalkan mayat – mayat itu dengan perasaan yang gelisah, kemudian ku melihat rombongan polisi sedang berpatroli di sekitar situ, aku berteriak meminta tolong, ternyata mereka memang sedang mencariku. Ibu dan ayahku juga ikut dalam pencarian tersebut. Mereka menemukanku dan kami berpelukan. Rasa rindu dan khawatir bisa ku lihat di wajah kedua orang tuaku. Kami berpelukan, dan mereka memeluk erat tubuhku. Aku kemudian memejamkan mataku untuk melepas gelisah yang bergejolak di dalam dada. Dan aku pun terjatuh pingsan lagi saat itu.

“Di mana aku”?? kembali aku bertanya dalam hatiku, dengan rasa keheranan, gelap, dan suara jangkrik kembali berdengung di telingaku. Aku kembali mengenakan pakaian basahku, dan jaket hujanku, kembali aku berada di bawah pohon ketapang saat itu, dan kegelapan menyergapku, ketakutan kembali kurasakan, tak terkecuali mistik, aku kembali merasa seperti seorang terpidana mati yang hendak menanti waktu penghukuman. Kembali ku pejamkan mataku, disaat aku mencoba membuka kembali mataku, tampak seorang nenek bungkuk, berambut putih, kulitnya keriput dan sepertinya jika ku sentuh akan jatuh berderai di tanah, dia hendak mencekik leherku, lalu aku berteriak sekencang – kencangnya.

“Hei Julia, bangun nak”, ayahku membangunkanku dari mimpi. Katanya sudah delapan hari aku terlelap tidur. Tak sadarkan diri dan denyut nadiku terkadang hilang, tapi kemudian muncul lagi setelah 5 menit. Begitulah yang terjadi seterusnya selama delapan hari. Aku  mulai berpikir bahwa, aku tertidur, dan bermimpi, dan bermimpi, kemudian kembali lagi lalu kemudian bermimpi lagi di dalam mimpi. Tak peduli apapun skema itu, toh aku masih bisa kembali ke dunia nyataku saat ini, Setidaknya itu dugaanku untuk sementara waktu. Karena itu seluruh anggota keluargaku dan kerabatku mengatakan bahwa sebetulnya mereka mengira bahwa aku telah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Wajar saja sebab sudah delapan hari aku tak bangun dari tidurku, apalagi sekedar makan atau minum. Mereka semua dan teman – temanku terus mencemaskanku, hampir saja mereka memakamkanku, untung saja saat ini aku terbangun sebab jika satu hari lagi aku masih seperti itu, mungkin benar aku akan menjadi jenasah yang sebenarnya. Di ruang tempat aku tertidur itu, mereka berbicara panjang lebar tentangku. Aku hanya duduk dan mendengarkan. Lalu aku menatap mereka, kemudian ku bagikan sedikit senyuman khas yang aku miliki, dengan sedikit bumbu lesung pipit ku rasa mereka dapat merasa lebih terhibur. Tak sepatah katapun ku katakan terhadap mereka. Sebab bibirku terasa begitu kaku, lalu ku beranjak meninggalkan mereka, dan aku segera menuju ke kamar tidurku.

Aku berjalan dan kakiku tak menginjak lantai lagi, seolah – olah aku sedang terbang, ku songsong jalan menuju kamarku, ku mendengar isak tangis yang begitu histeris, dan coba tebak, apa yang kulihat ? “TUBUHKU”! telah terbaring kaku, dengan mengenakkan gaun putih yang anggun, kedua tanganku terlipat, di tengahnya terselip bunga diantara jari – jari yang mengepal erat dengan sarung tangan putih yang bersih. Ternyata mereka menangisiku, aku terkaget dan merasa keheranan, aku merasa butuh penjelasan dari ayahku, lalu aku kembali ke ruang dimana mereka membangunkanku, disana kudapati mereka tersenyum menyambutku, begitu ramah dan bersahaja, ketika itu air mataku mulai menetes sedikit demi sedikit, ku mencoba meraih tangan ibuku, tapi apa daya aku tak mampu memegang tangan halus itu, begitupun ketika ku hendak memegang tangan ayahku, aku tak bisa menyentuh mereka seolah-olah kami sedang berada di alam yang berbeda. Aku kembali lagi kedalam kamarku, kembali pemandangan dimana jasadku sedang di ratapi keluarga tetap tersaji tak berubah. Lantas apa yang terjadi sebenarnya ? Apakah aku benar – benar telah berpulang ? pertanyaan itu membuatku menjadi frustasi. Aku terhempas ke dinding lalu perlahan – lahan tergeletak di lantai dengan tangisan kesedihan yang mendalam yang penuh dengan tanda tanya. Aku terus menangis, begitupun ayah dan ibuku dikamarku, sementara itu entah mereka itu hanya sebuah ilusi atau apapun itu, mereka terus mengerumuniku dan tersenyum sambil berkata, akhirnya kita kembali berkumpul bersama”.

Dalam keadaan yang memprihatinkan, aku memaksa mencoba memahami apa yang sedang dan telah terjadi. Ternyata tim SAR yang menyelamatkanku membawaku jauh masuk ke dalam mimpiku yang selanjutnya, aku berada di sebuah pekuburan tua, dan kemudian seseorang  membawaku masuk ke dalam ruang putih yang dingin, adalah merupakan alam lain di dalam mimpiku, di sana ternyata adalah mimpiku selanjutnya, ketika kepalaku mungkin terhantam sebuah balok, aku berganti alam, kemudian ledakkan bom itu menelantarkanku jauh ke dalam mimpiku yakni dengan tipuan situasi yang sama yaitu lokasi pekuburan tua, dimana polisi menemukanku, itu hanyalah sebuah skema yang terus membawaku masuk jauh ke dalam mimpiku, lalu ketika ayah dan ibu memelukku dan kemudian aku terjatuh pingsan, adalah media dimana  aku terus terperangkap jauh, sebelum tipuan itu kembali mencuri ingatanku seolah aku kembali berada di sebuah hutan dengan situasi yang sama. Sesaat kemudian seorang nenek mencekik leherku dan aku berteriak, ku pikir itu merupakan jalan kembali aku pulang ke dunia nyataku, tetapi ternyata itu di ibaratkan lubang yang di dalamnya tersimpan lubang – lubang kecil, dan sepertinya aku terkubur di lubang mimpi tersebut. Gambaran ketika aku kembali kedunia nyataku dimana ayahku membangunkanku, sempat membuatku legah karena kupikir aku telah kembali pulang, ternyata lagi – lagi itu semua hanya tipuan mata menurutku, ketika senyum-senyum itu melintas di hadapanku itu adalah jerat mimpi yang membuatku tersesat begitu jauh di dalam mimpiku. Sedangkan kenyataan yang sebenarnya berada di dalam kamarku, di mana orang – orang meratapiku dengan tangisan kesedihan yang mendalam, itu pun hanya dugaanku, sebab tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menduga – duga apa yang telah ku lewati. Saat dimana aku kembali ke tempatku terbangun sehabis ku melihat mereka meratapiku adalah sebuah kejanggalan besar dalam teka teki ini, bahwa mereka tersenyum seolah senyum itu bukan senyuman sebenarnya yang menyamar di balik senyum bersahaja yang ku dapati, sebab salah seorang dari mereka, tersenyum sambil mengeluarkan gigi, disana ku temui bahwa gigi sepupuku jordi sempurna. Padahal sebetulnya yang ku ketahui bahwa giginya bolong dan tepat di tengah. Namun kupikir itu belum menjamin keabsahan praduga yang sebenarnya. Semua belum bisa ku pahami secepat ini dengan menduga – duga, aku harus terus mencari kunci keluar dari mimpi ini agar bisa kembali pulang ke dunia yang sebenarnya. Tapi mungkin juga jasadku yang terbaring adalah titik balik aku ke dunia nyataku. Tapi aku masih belum puas, aku akan tetap mencari jalan untuk pulang. Sampai saat aku mengisahkan ini, aku  masih tak tahu dimana kini aku berada, sebab di depan laptop ini, aku masih akan menulis kisahku selanjutnya. Dan aku masih belum memastikan ini nyata atau bukan karena aku, “TERSESAT”!!

Manado, 26 FEBRUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar